Jakarta: Koruptor kerap dilambangkan dengan tikus, hewan yang dicap paling susah punah dalam rantai makanan alam semesta.
Personifikasi itu memang pas, mengingat persoalan rasuah yang tak kunjung usai. Tentu, selain lantaran binatang pengerat itu rakus, serta pandai mengambil apa yang bukan miliknya.
Begitu pun ihwal korupsi. Diukur sejak era apapun, pasti ada. Dari zaman kerajaan, hingga di masa modern yang segala sesuatunya sudah serba terang benderang pun lazim ditemukan.
Di Indonesia, banyak survei menunjukkan betapa perilaku korupsi kian menjangkit. Merujuk angka yang pernah disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018, lebih dari 60 persennya dilakukan para politisi.
Telah banyak upaya dilakukan demi menyudahi kelatahan ini. Termasuk, dihadirkannya Peraturan KPU (PKPU) yang memuat pasal pelarangan mantan narapidana korupsi mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif (Caleg), meskipun akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 harus menjadi penguatan tekad pemberantasan korupsi para calon wakil rakyat. Harapan itu, kini tinggal ada pada masyarakat pemilih yang tidak asal coblos.
Perlawanan terhadap tindak korupsi, dimulai dari tekad masyarakat untuk memilih para caleg dari partai politik (Parpol) yang bersih.
Problem parpol
Pada peringatan Hari Antikorupsi 2018, KPK menyebut empat permasalahan yang membuka peluang korupsi terjadi dalam lingkaran politik.
Pertama, tidak ada standar etika politik dan politikus. Kedua, sistem rekrutmen yang tidak berstandar. Ketiga, sistem kaderisasi berjenjang dan belum terlembaga. Keempat, kecilnya pendanaan partai politik dari pemerintah.
Akan tetapi, menurut Indonesia Corruption Watch (ICW), semua perkara yang berpusara pada institusi parpol itu bisa disimpulkan dalam satu akar, yakni, tidak adanya keseriusan bagi parpol dalam mencegah tindak rasuah yang dilakukan orang-orangnya sendiri, khususnya, ketika mereka berada di dalam parlemen.
"Belum ada pembenahan serius mencegah korupsi di legislatif. Pembenahan sistem dari akar masalahnya ada pada di reformasi parpol, belum ada pembenahan di parpol," kata peneliti ICW, Almas Sjafrina, September lalu.
Beberapa bentuk iktikad baik di internal parpol untuk menyudahi bahaya laten korupsi adalah memberangus tradisi mahar politik, serta menutup pintu rapat-rapat para eks napi korupsi untuk kembali mengambil peluang di Pileg 2019.
Sayang, tidak banyak parpol yang punya tekad serupa. Meski begitu, masih ada sedikit parpol yang bertekad menerapkan iktikad baik tersebut. Salah satunya, Partai NasDem.
Bahkan KPU tak segan menyebutnya sebagai partai berintegirtas.
Baca: NasDem dan PSI Contoh Partai Berintegritas
Ketua DPP NasDem Willy Aditya mengaku tak kaget dengan penetapan itu. Menurut dia, sejak awal Partai NasDem berkomitmen menggerakkan perubahan.
Salah satunya, dengan tidak meloloskan bakal caleg eks narapidana korupsi maju kembali menjadi calon wakil rakyat.
"Partai NasDem ingin menjadi role of model partai modern yang berintegritas dan transparan," kata Willy di Jakarta, Rabu, 20 Februari 2019.
Menjaga muruah
Mahar politik dan pemakluman terhadap pelaku pidana korupsi bukan perkara yang tak berimbas kepada sistem demokrasi secara keseluruhan. Indikator yang paling mencolok adalah turunnya partisipasi warga, anjloknya pamor parpol, serta rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap institusi parlemen di Indonesia.
Tengok saja hasil survei Polling Centre dan ICW yang pernah menggegerkan jagat politik pada pertengahan 2017 lalu. Menurut data yang mereka rilis disebutkan, tingkat kepercayaan publik terhadap parpol cuma kuat di angka 35%, begitu pula institusi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang hanya bisa mencapai 51% saja.
Keduanya, jauh berada di bawah pamor kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil meraih tingkat kepercayaan sebesar 86%, Presiden (86%), BPK (72%), MA (66%), Media (64%), Kejaksaan Agung (63%), Pemerintah Daerah (63%), LSM/ormas (63%), Kementerian (62%), Polisi (57%), dan Ombudsman RI (54%).
Perkaranya, untuk menjalankan kedua tekad demi menjelmakan diri sebagai parpol bersih itu tidak lah mudah, tidak juga murah.
Soal ini, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pernah mengatakan, sebab mengusung semangat itu, partai yang dipimpinnya mesti rela kehilangan peluang untuk mendapat pendanaan sekitar Rp1 triliun dalam pelaksanaan pelaksanaan pemilu dan pilkada sebelumnya.
Yang diamini Surya, kelaziman politik transaksional mesti didobrak. Untuk menemukan calon pemimpin terbaik dan wakil rakyat yang bersih, butuh diperketat dalam sejauh mana dia memiliki niat pengabdian dalam pembangunan.
Petunjuk utama untuk mendorong cita-cita itu, katanya, ada dalam kepribadian dan kapabilitas. Bukan uang.
"Sayang juga orang-orang yang hebat terpilih, punya kemampuan, leadership baik, tapi tingkat elektabilitasnya rendah sekali. Perpaduan inilah (kepribadian, kapabilitas, dan elektabilitas) yang harus dihitung baik-baik oleh Partai NasDem dalam mengatur strateginya. Hal inilah yang memungkinkan kita bisa tetap menjaga ruh, soul, idealisme kita sebagai institusi partai politik," kata Surya.
Meski berat, nyatanya, strategi ini cukup tokcer dijalankan Partai NasDem dalam Pilkada 2018. Bagi parpol yang baru mengikuti tiga kali pesta demokrasi daerah, mampu mengantarkan 11 kader dan nonkader menjadi gubernur/wakil gubernur merupakan prestasi yang tidak gampang secara hitung-hitungan.
Alhasil, jangan takut menjadi bersih. Rakyat dan pemilih cerdas, tentu akan mendukungnya dengan tanpa ragu.
Parpol harus segera membenahi diri. Jika tidak, perilaku yang kerap dipadankan dengan tingkah tikus itu salah-salah makin menggerogoti kandangnya sendiri.
(SBH)
https://ift.tt/2T8FTTT
February 21, 2019 at 04:40PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Memilih Parpol Bersih"
Post a Comment