Profesor musik Tjut Nyak Deviana Daudsjah dengan tegas menyimpulkan bahwa draf RUU Permusikan adalah produk prematur hasil rancangan orang-orang yang tidak mengerti musik. Bahkan menurut dia, judul seperti "permusikan" saja sudah tidak tepat karena cakupannya terlalu luas.
Deviana, musisi serba bisa yang telah menggeluti dunia pendidikan musik selama 30 tahun, sepakat ada rencana pembuatan undang-undang terkait praktisi musik. Namun konteksnya bukan permusikan sebagaimana hendak diatur lewat naskah RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018.
Dia menolak RUU Permusikan dilanjutkan dan menilai kajian akademis harus dilakukan ulang untuk memahami batasan masalah yang dihadapi praktisi musik. Para akademisi dan pakar musik serta bidang terkait harus terlibat untuk bersama-sama merumuskan naskah akademis, sebelum usulan diajukan kepada DPR."Ini memerlukan waktu lebih (lama) lagi, dua atau tiga tahun," kata Deviana kepada wartawan Medcom.id dan beberapa media lain usai diskusi di kawasan Cilandak, Rabu, 6 Februari 2019.
"Ini sangat mentah rancangannya, belum tepat."
Kesimpulan Deviana bukan tanpa alasan. Dalam diskusi itu, dia menguraikan letak kecacatan draf RUU Permusikan. Jangan harap meminta dia untuk menyimak video penjelasan Komisi X DPR. Baginya, membedah konten yang aktual dalam naskah lebih penting ketimbang penjelasan pihak legislatif yang mengusulkan undang-undang ini.
"Saya sudah membaca seksama isi RUU Permusikan karena kontennya lebih penting untuk diperiksa dan dibedah tuntas daripada nonton berbagai video dari media dengan tanggapan dari pihak yang memang tidak mengerti apa itu musik," tulis Deviana di media sosial.
Tjut Nyak Deviana Daudsjah (Foto: Medcom/Purba)
95% Materi RUU Bermasalah
Beberapa hari setelah berkas draf bisa diakses publik, penolakan terjadi terutama karena ada Pasal 5 dan 50 tentang larangan dalam kreasi musik, serta pasal-pasal yang mengatur sertifikasi, musisi lokal pendamping, serta kewajiban restoran memutar musik tradisional.
Setelah didalami sejumlah pihak, termasuk Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan (KNTL RUUP), ternyata sebagian besar pasal bermasalah. Sama seperti Deviana, koalisi dengan dukungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta rencana RUU dicabut untuk dikaji ulang sejak awal.
Anang Hermansyah adalah Ketua Harian PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia), Ketua LSP (Lembaga Sertifkasi Profesi) Musik, serta anggota Komisi X DPR RI yang mengusulkan undang-undang ini.
Tiga rekan kerja Anang, yaitu Inosentius Samsul (Badan Keahlian DPR), musisi-pengacara Mohamad Kadri (pengurus PAPPRI), dan guru besar HKI Agus Sardjono (pengurus PAPPRI), menyatakan RUU Permusikan masih dalam tahap sangat awal dan sangat mungkin diperbaiki.
Anang sendiri, setelah didesak pertanyaan beberapa kali termasuk oleh wartawan, menyatakan bahwa masalahnya terletak pada Pasal 5 dan Pasal 50.
Namun bagi Deviana, nyaris seluruh rumusan draf RUU Permusikan ini bermasalah sehingga tidak mungkin diterima hanya dengan embel-embel istilah "revisi". Kalaupun mau disebut sebagai revisi, revisinya adalah total atau sama saja dengan membuat ulang.
Belakangan, pendapat soal revisi atau tidak menjadi pembeda yang seolah-olah memecah kubu musisi.
Inosentius Samsul dari Badan Keahlian DPR RI dalam diskusi RUU Permusikan yang digelar Koalisi Seni Indonesia (Foto: Medcom/Purba)
Deviana punya riwayat panjang sebagai praktisi dan akademisi musik. Dia pernah merancang kurikulum pendidikan kala bekerja di akademi musik di Jerman dan Swiss. Setelah kembali ke Jakarta pada tahun 2000, dia turut mendirikan Yayasan Daya Bina Budaya dan Institut Musik Daya Indonesia. Konon, ini akademi musik independen pertama di Indonesia yang memakai kurikulum standar internasional.
"Jadi permasalahannya (terkait musik), saya bisa katakan bahwa saya tahu," kata perempuan kelahiran 13 Februari 1958 ini.
Deviana menyebut bahwa "95% rancangan ini harus direvisi. Saya tolak mentah-mentah (draf RUU Permusikan)". Dia merinci kesalahan untuk hampir setiap bagian draf setebal 30 halaman itu. Draf berisi 54 pasal dalam sembilan bagian beserta penjelasan.
Kritik paling mendasar adalah soal judul Permusikan. "Maksudnya apa? Seharusnya ada judul yang lebih tepat, misalnya tata kelola atau ekosistem – saya pinjam istilahnya Bung Glenn (Fredly)," ujarnya. Kesalahan mendasar kedua adalah soal musik mana yang hendak diatur. "Kata musik sebaiknya diperjelas karena musik punya banyak genre."
Bahkan definisi "musik" itu sendiri, kata Deviana, sudah salah. Pasal 1 ayat 1 menyebut musik sebagai rangkaian nada atau suara dalam bentuk lagu atau komposisi musik melalui irama, melodi, harmoni, lagu, dan ekspresi sebagai satu kesatuan. Menurut Deviana, musik adalah seni nada.
Atas definisi itu pula, aturan soal unsur pemerintah mana yang bertanggung jawab atas musik menjadi tidak tepat. Musik seharusnya ditangani bidang kesenian dan bukan kebudayaan. Definisi kegiatan permusikan juga kurang lengkap karena konsep pendidikan belum disebutkan.
Cakupan pelaku musik juga baru empat, meliputi penulis lagu, penyanyi, penata musik, dan produser. "Komposer dan pengurus acara musik belum disebut."
Marcell Siahaan memberikan pernyataan sikap atas RUU Permusikan (Foto: Medcom/Purba)
Terkait Pasal 5, Deviana jelas menolak dan menyebutnya sebagai "pasal sembrono". Jika "pengaruh negatif budaya asing" hendak ditangkal, dia meminta DPR untuk menjelaskan lebih lanjut pengaruh negara mana yang hendak dilarang. Lagipula, musik adalah budaya dunia.
Itu baru kritik atas bagian "menimbang dan mengingat" serta lima pasal pertama. Belum aturan lain yang tidak jelas atau tidak tepat subyek, obyek, rincian, tujuan, serta acuan hukumnya, seperti kontrak, kegiatan promosi, izin usaha distribusi, akses pasar dan tempat pertunjukan, musisi lokal pendamping, standar honor, serta pemakaian bahasa Indonesia dalam kemasan produk.
Soal bahasa, istilah musik sendiri diserap dari bahasa Yunani. "Ya sudah, mari bikin istilah baru untuk musik," ujar Deviana sarkastik.
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan bersama Tjut Nyak Deviana, Hafez Gumay, dan Glenn Fredly (Foto: Medcom/Purba)
Lalu ada aspek pendataan dan pengarsipan dalam pasal 45 yang menurut Deviana, "sudah dibahas ratusan juta kali, seharusnya itu sudah menjadi acuan dan menjadi regulasi untuk mengadakan undang-undang ini. Mana kertasnya?"
Aspek yang tidak kalah seksi adalah kompetensi. Menurut penelusuran Medcom.id, hal terkait kompetensi diatur setidaknya dalam 20 pasal dari total 54 pasal. Sebanyak 11 pasal (21-31) secara khusus mendefinisikan praktisi musik jalur pendidikan (formal, nonformal, informal) dan autodidak. Mereka bisa dianggap sebagai profesional yang setara lewat uji kompetensi.
Pasal 28 menyebut bahwa penyelenggara pendidikan nonformal harus memenuhi syarat dan standar pemerintah. "Standar pemerintah harus ditetapkan dulu sebelum menulis pasal ini," kata Deviana.
"Lalu Pasal 31, ujian kesetaraan? Tanda tanya besar! Siapa dan lembaga mana yang menguji? Akademisinya dulu yang harus diuji sebelum menguji karena kenyataannya, banyak yang mengaku penguji sementara dia sendiri harus diuji," lanjutnya.
Terkait kompetensi, Deviana bercerita bahwa pada 2007, dia menjadi Ketua Konsorsium Musik untuk Kemdikbud dan membuat standar kompetensi kerja nasional (SKKN) untuk bidang musik. Standar disahkan pada 2009, tetapi kurang sosialisasi. Kendati begitu, standar tersebut adalah pilihan, sedangkan dalam draf RUU Permusikan, seperti menjadi kewajiban.
"Banyak sekali hal kompleks di Indonesia yang kurang sosialisasi dan tiba-tiba ada rancangan undang-undang," ungkap Deviana dalam obrolan lebih lanjut dengan wartawan.
Deviana sepakat harus ada undang-undang atau produk hukum lain yang melindungi kesejahteraan musisi, termasuk misalnya standar honor dan asuransi. Namun draf RUU terkini justru membatasi kreativitas.
Perombakan Total
Arian 13 (vokalis Seringai) dan Mondo Gascaro dari KNTL RUUP menyebut bahwa draf RUU tidak menjawab identifikasi masalah tentang praktisi atau ekosistem musik. Apalagi, mereka dan kawan-kawan menilai prosesnya kurang sosialiasi, tanpa sumber dan tim penyusun kredibel, serta sangat elitis dan tidak transparan.
"Kalau ada yang tanya, kenapa harus ditolak? Kenapa tidak revisi? Sama saja karena ini membuat dari awal," kata Arian.
"Kalau dipelajari, strukturnya memang sangat bermasalah, mulai dari pasal yang tidak nyambung, berdiri sendiri, lalu tiba-tiba loncat ke sini," sambung Mondo Gascaro. "Itu saja sudah bikin kepala puyeng, gimana mau revisi? Ibarat kita bikin rumah, pondasi sudah salah, gimana bisa renovasi?"
Wendi Putranto, manajer Seringai dan aktivis KNTL RUUP, berpendapat bahwa tujuan awal pembuatan undang-undang ini mungkin baik, tetapi tidak dikawal dengan benar.
"Kami semua setuju, ini untuk menyejahterakan musisi dan demi kemajuan ekosistem musik. Namun ya kalau begini caranya, malah kebalikan, bukan sejahtera, malah memenjarakan musisi," ungkapnya.
Endah Widiastuti, penyanyi dan penulis lagu dalam duo Endah N Rhesa, memberi pernyataan lebih emosional terkait penolakannya atas draf RUU Permusikan.
"Kalau misalnya ini dilanjutkan dengan – aduh maaf, saya sebenarnya tidak mau meragukan orang lain – dengan kompetensi orang yang menyusun rancangan undang-undang dan naskah akademik ini, apa ya kita percaya dan menyerahkan hidup kita kepada mereka?" ungkap Endah.
Arian, Mondo, Wendi, Endah bersama kawan-kawan KNTL RUUP dan YLBHI akan tetap mendesak RUU Permusikan dihentikan dan dikaji ulang. Jika DPR tetap melanjutkan proses tersebut, mereka berencana akan turun ke jalan membuat aksi pada 9 Maret mendatang, bertepatan dengan Hari Musik Nasional.
Hal-hal permusikan terlalu luas untuk diatur dalam satu undang-undang. Namun menurut Anang, UU Permusikan yang dia usulkan dan didukung oleh PAPPRI bisa selesai dalam waktu delapan bulan hingga masa kerjanya di DPR habis pada akhir September 2019.
Anang Hermansyah (Foto: Medcom/Purba)
Usulan RUU Permusikan sudah ada setidaknya sejak 2017. Menurut Glenn Fredly, wacana tersebut berangkat dari Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Komisi X DPR pada 2015.
RDPU itu dihadiri PAPPRI, ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), serta badan hukum pengelola royalti LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dan unit bawahnya LMK (Lembaga Manejemen Kolektif). Tidak semua musisi atau perusahaan rekaman bergabung ke PAPPRI dan ASIRI.
Kala itu, Anang telah menjadi pengurus PAPPRI dan masuk parlemen. Ketua Umum PAPPRI masih dijabat oleh Tantowi Yahya yang juga anggota Komisi I DPR, sebelum dia dikirim menjadi dubes Selandia Baru.
Pada 2017, lewat ajakan Anang, Glenn bergabung ke dalam kepengurusan PAPPRI atas alasan personal yang sudah dia ungkapkan ke publik. Dalam PAPPRI 2017-2022, Anang menjadi Ketua Harian dan AM Hendropriyono menjadi Ketua Umum. Sejak pengurus baru terbentuk, PAPPRI menyatakan akan mendorong adanya UU Musik, sertifikasi musik, dan serikat pekerja musik.
Setelah masuk PAPPRI, Glenn menggagas Konferensi Musik Indonesia yang tujuannya mengawal ide-ide tentang perbaikan ekosistem musik, termasuk rencana pembuatan RUU. Anang menyebut bahwa hasil konferensi perdana di Ambon pada 7-9 Maret 2018 menjadi salah satu rujukan penyusunan draf RUU Permusikan.
Glenn Fredly (Foto: Medcom/Purba)
Pada Agustus 2018, sudah ada naskah akademis dari Badan Keahlian DPR beserta draf RUU Permusikan. Namun dokumen itu, selain diketahui oleh Komisi X DPR, hanya beredar terbatas salah satunya di kalangan PAPPRI.
Pada akhir Januari 2019, dokumen tersebut dirilis ke publik dan kalangan musisi. Dalam sepekan, materi ini diketahu lebih luas dan menjadi polemik hingga sekarang.
"Dengan draf yang sudah ada untuk menjadi pegangan, itu akan diubah, akan didudukan bersama dengan masukan-masukan, dibahas cepat," kata Anang usai diskusi yang digelar Koalisi Seni Indonesia dan Kami Musik Indonesia pada Senin, 4 Februari.
Patut menjadi pertanyaan besar, jika banyak suara dari kalangan praktisi musik meminta RUU dibatalkan untuk dikaji ulang, kenapa pihak Anang terkesan ngotot RUU bisa dipercepat.
(ELG)
http://bit.ly/2t9MYVH
February 08, 2019 at 02:40PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "RUU Permusikan Salah Sejak Judul"
Post a Comment