Search

Debat tanpa Sungkan

Debat mungkin pertandingan paling terbuka dengan hasil yang paling sulit dibaca. Keunggulan ataupun kelemahan paling nyata tetap saja bisa berbanding terbalik di mata para pendukung.

Hal itu pula yang juga menggambarkan debat kedua antara calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto, Minggu (17/2). Sampai hari kedua pascadebat, kedua calon sama-sama mengalami kenaikan popularitas di media sosial.

Berdasarkan data lembaga survei popularitas Politica Wave, Selasa (19/2) pagi, paslon Jokowi-KH Ma’ruf Amin meraih 754,678, sedangkan paslon Prabowo-Sandiaga Uno mendapatkan 709,067.

Tingkat elektabilitas itu berdasarkan suara obrolan warganet. Jika dilihat lebih dalam, tingkat kenaikan lebih tinggi terjadi pada paslon 02. Elektabilitas mereka naik 95,652 suara, sedangkan paslon 01 naik 77,167 suara.

Jika berkaca pada penilaian para pengamat mengenai basis data dan penguasaan materi, hasil tersebut cukup mengherankan. Para pengamat memuji penggunaan data yang digunakan Jokowi. Karena itu, mereka secara tegas mengatakan bahwa panggung debat kedua ialah milik Jokowi.

Namun, nyatanya, fakta kasatmata tersebut tetap tidak cukup bagi sebagian masyarakat kita. Keunggulan ataupun kelemahan yang sudah terpapar jelas tidak juga mampu melahirkan pemikiran jernih dalam menentukan suara.

Di sisi lain, kegagalan logika sebagian masyarakat kita tidak boleh menggoyahkan peran debat itu sendiri. Apalagi sampai menyangsikan keberadaannya dalam proses pemilu ini.

Terlebih kemandekan logika memang bukan sesuatu yang aneh jika melihat keberadaan manusia dengan pendekatan konstruktivisme sosial. Dari kacamata tersebut, manusia memang memiliki kecenderungan untuk menentukan pilihan berdasarkan hasrat ketimbang fakta. Bahkan dalam kondisi dorongan hasrat yang begitu kuat, hal-hal absurd pun dapat dilihat sebagai fakta.

Karakter sosial konstruktivis itu sesungguhnya tidak pula salah dan menjadi aib manusia. Inilah pula yang melahirkan keragaman manusia dan dunia yang kita tinggali.

Meski begitu, kecenderungan sosial konstruktivis memang dapat pula menjadi petaka ketika dimanfaatkan untuk sentimen yang tidak seharusnya. Inilah yang banyak dikaji dari debat calon presiden Amerika Serikat pada 2016.

Rangkaian debat di negara rumah demokrasi itu sudah tidak ubahnya panggung kegagalan logika. Begitu pun argumen-argumen paling tidak berdasar yang dibuat Donald Trump tidak menghalangi langkahnya menjadi presiden negara adidaya itu.

Berdasarkan kajian banyak ahli di negara itu, Trump sesungguhnya hanya menjual angan-angan kejayaan. Kuatnya rayuan mimpi itu mampu menyihir rakyat AS, meski segala program yang dikemukakan sesungguhnya tidak logis atau malah memecah belah bangsa itu sendiri.

Mimpi buruk debat yang berpadu dengan kecenderungan konstruktivisme sosial manusia itulah yang mestinya menjadi pelajaran besar dalam perjalanan pilpres kita.

Seluruh masyarakat kita harus bisa keluar dari program dan pencapaian tidak logis. Caranya, sesungguhnya tidak lain dengan mencermati debat itu sendiri.

Sebab itu pula menjadi kewajiban kedua pasangan capres-cawapres untuk menempatkan debat sebagaimana mestinya. Penghargaan pada peran debat itu yang kita nantikan pada debat ketiga antara calon wakil presiden KH Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno pada 17 Maret.

Publik berharap kedua calon wakil presiden tetap bersungguh-sungguh mengikuti debat. Dalam konteks itulah publik pun menyayangkan sikap Sandi yang enggan memaksimalkan debat. Apalagi keengganan Sandi itu dibungkus dengan alasan sungkan terhadap sosok KH Ma'ruf Amin.

Keengganan yang dibalut dengan alasan sungkan itu sesungguhnya bukan saja merugikan esensi debat, melainkan juga tidak menjunjung kepentingan masyarakat sebagai pemilih. Masyarakat menantikan paparan visi, misi, dan program para calon.

Sandiaga, seperti dikutip sejumlah media, mengaku kesulitan menghadapi debat ketiga. Kesulitan itu karena dirinya diajarkan untuk selalu hormat dan patuh kepada ulama dan kiai.

Publik justru mengapresiasi sikap KH Ma’ruf Amin yang meminta Sandi tidak sungkan terhadap dirinya saat debat nanti. Saling menyerang dalam sebuah forum debat mestinya dianggap sebagai sebuah keniscayaan sepanjang serangan yang dilancarkan itu berkaitan dengan ide, gagasan, dan program setiap kontestan.

Elok nian bila Sandi tidak merasa sungkan dalam mengikuti debat asalkan tetap memperlihatkan kesantunan kata dan laku. Boleh-boleh saja bila ia mengikuti jejak Prabowo yang secara terbuka mendukung kebijakan Presiden yang dinilainya sudah benar. Debat senyatanya ialah laga paling adil, baik bagi kapasitas maupun kewibawaan. Sikap seperti itu akan menjadikan politik kian rasional dan tidak lagi emosional.

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2Nfsggq

February 20, 2019 at 09:13AM

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Debat tanpa Sungkan"

Post a Comment

Powered by Blogger.