
CNN Indonesia | Kamis, 19/09/2019 10:52 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Jalan panjang pemberantasan korupsi di Indonesia penuh lubang. Komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia sangat tergantung dengan kekuasaan. Komitmen itu tak pernah luput dari siapa yang menjadi kepala negara.Kini, era Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dianggap hampir mati setelah DPR resmi melakukan revisi UU KPK dan terpilihnya Inspektur Jenderal Firli Bahuri cs sebagai pimpinan KPK periode berikutnya. Berdiri sejak 2003, kemudian dianggap aktivis pemberantasan korupsi lumpuh di 2019.
Revisi UU KPK disertai terpilihnya Firli dkk itu dinilai sebagai upaya melemahkan KPK. Kedua hal tersebut juga dianggap menjadi bukti telah bergesernya cara berpikir dalam komitmen dan semangat pemberantasan korupsi oleh para pemangku kebijakan.
Dilansir dari acch.kpk.go.id, pada tahun 1970, bersamaan dengan Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, Soeharto--Presiden saat itu-- meyakinkan rakyat bahwa pemerintahannya serius memberantas korupsi. Bahkan, ia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi.
Tiga tahun sebelumnya, juga di era Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres Nomor 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Namun dalam pelaksanaannya, tim tidak berfungsi. Peraturan itu memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 hingga mencapai puncaknya setahun kemudian. Mengatasi keributan, dibentuk Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi.
Seiring berjalannya waktu, ide pembentukan lembaga antikorupsi diutarakan pada masa pemerintahan BJ Habibie. Presiden RI ke-3 itu mengeluarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Ia kemudian membentuk Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).
Berikutnya, Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN ada pada era Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Gus Dur lantas membentuk badan negara guna mendukung upaya pemberantasan korupsi. Seperti Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), Komisi Ombudsman Nasional, dan Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara.
Namun, melalui judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan.
Sementara pada masa kepemimpinan Megawati, di tengah-tengah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan, dibentuklah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Komisi inilah yang menjadi cikal bakal KPK yang dikenal sekarang.
Dalam aturan itu, KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPK disebut sebagai lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
KPK mempunyai lima tugas penting. Di antaranya koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. KPK dipimpin oleh pemimpin yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota.
Pemimpin KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
[Gambas:Video CNN] (ryn/osc)
from CNN Indonesia https://ift.tt/34W2VjO
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jalan Berlubang Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia"
Post a Comment