Nama Aristides tak asing di kalangan pewarta Indonesia. Ia bisa dibilang menjadi salah satu wartawan yang pernah menjadi saksi mata masa gelap media di Indonesia ketika Orde Baru berkuasa hingga kebebasan pers dijamin dalam undang-undang 33 tahun setelahnya.
Tides, sapaan akrab mengawali karir di dunia jurnalistik sekitar akhir 1957. Saat itu ia bergabung dengan Pers Biro Indonesia. Pada 1961, Tides bergabung dengan Sinar Harapan, salah satu surat kabar yang cukup berpengaruh.
Sinar Harapan menjadi surat kabar yang cukup kontroversial saat itu karena sempat beberapa kali dibredel. Pada 2 Oktober 1965, pemerintahan Presiden Soeharto membredel koran tersebut supaya peristiwa Gerakan 30 September atau G 30 S-PKI tidak terekspos secara bebas oleh media. Namun beberapa hari setelahnya, koran itu diizinkan terbit kembali.
Pada 1968, Tides diangkat sebagai redaktur pelaksana Sinar Harapan sampai harian itu kembali dibredel pada 1972 akibat memberitakan anggaran belanja negara yang belum disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tides sempat meninggalkan Indonesia selama lima tahun tak lama setelah itu. Ia menghabiskan waktu selama lima tahunnya berguru ke Amerika Serikat untuk belajar di Stanford University.
Ia juga pernah mengenyam pendidikan di Center for International Affairs, Harvard University.
Ketika kembali ke Indonesia, Tides mengajar jurnalistik di Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Ia juga menjadi pemimpin redaksi Sinar Harapan sampai ditutup tahun 1986.
Tides kemudian kembali mendirikan Sinar Harapan lagi bersama sejumlah rekannya pada 2001. Sayangnya, koran tersebut juga tak berusia panjang. Setelah 16 tahun terbit kembali, Sinar Harapan terpaksa tutup usia pada 1 Januari 2016 karena kehilangan investor dan pengiklan.
Bagi Tides, Sinar Harapan adalah tempat dia berkarya dan belajar.
"Media sekarang dikuasai oleh internet dan digital. Yang penting juga pembaca. Saya kira, cucu-cucu saya sudah tidak terbiasa membaca koran, mereka membaca di smartphone," katanya.
Selama berkiprah sebagai wartawan, Tides mampu menghasilkan sejumlah karya jurnalistik besar, salah satunya liputan eksklusifnya yang terbit di New York Times sekitar 1964 cukup membuat geger penguasa dan dunia internasional saat itu.
Tides mendapat isi surat khusus yang dikirim Presiden Amerika Serikat John F Kennedy untuk Presiden Sukarno. Surat itu dikirim langsung Kennedy melalui utusannya, Jaksa Agung AS Robert 'Bob' F Kennedy, yang berkunjung ke Jakarta.
Tides menjadi satu-satunya wartawan yang mendapat isi surat Kennedy tersebut. Wartawan New York Times yang ikut rombongan Kennedy pun tidak mengetahui isi surat itu
Laporan Tides tersebut pun menjadi menjadi berita utama di Sinar Harapan dan The New York Times.
Beberapa waktu lalu, Tides sempat mengunjungi ruang redaksi CNNIndonesia.com. Semangat masih terlihat menyala meski jalannya sudah ditopang tongkat. Kami sempat berbincang-bincang singkat terkait kondisi media massa saat ini.
Tak segan ia membagikan nomor ponselnya kepada kami. Ia mengaku siap untuk dijadikan narasumber jika memang dibutuhkan. "WA dulu kalau mau telepon," ujarnya saat itu.
Selamat Jalan Pak Tides.
(rds/age)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2obPCLg
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Aristides Katoppo, Wartawan Pembocor Surat JFK untuk Sukarno"
Post a Comment