Petisi berjudul "Indonesia Bersih, Presiden Tolak Revisi UU KPK!" itu telah ditandatangani 179 ribu orang pada pukul 12.09 WIB, Selasa (17/9). Dalam petisi itu, Henri menuliskan revisi UU KPK berpotensi cacat hukum.
Menurutnya, suatu RUU terlebih dahulu harus disepakati untuk ditambahkan dalam prolegnas tahunan. Pasal 45 UU Nomor 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan penyusunan RUU harus dilakukan berdasarkan Prolegnas.
Sementara Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 12/2011 menyatakan dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan syarat mengatasi keadaan luar biasa, konflik atau bencana alam.
Henri mengatakan proses pengusulan RUU KPK saat ini juga dilakukan secara tertutup dalam waktu relatif singkat di internal Baleg DPR RI.
"Selain berpotensi melanggar prosedur, pembahasan RUU ini juga tidak melibatkan partisipasi publik secara memadahi untuk upaya pemberantasan korupsi ke depan," tulis Henri dalam laman change.org.
Selain itu, revisi UU KPK saat ini berpotensi menimbulkan ancaman yang akan memundurkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini terindikasi dari beberapa materi yang termuat di dalamnya.
Pertama, terkait pembentukan Dewan Pengawas KPK oleh DPR atas usulan Presiden. Ketentuan ini dinilai berpotensi membatasi ruang gerak KPK.
Dengan keberadaan Dewan Pengawas, KPK diharuskan mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Infografis isu krusial dan sikap Jokowi soal revisi UU KPK. (CNN Indonesia/Fajrian)
|
"Cukuplah mekanisme hukum yang ada selama ini sebagai batasan bagi proses penegakan hukum yang dilakukan KPK, seperti adanya lembaga praperadilan," katanya.
Kedua, personel penyidik KPK hanya diperbolehkan dari kepolisian, kejaksaan dan penyidik pegawai negeri sipil sehingga tidak memungkinkan bagi penyidik independen dari KPK.
Henri mengatakan selama ini persoalan pemberantasan korupsi sangat tergantung pada penyidik independen dan berintegritas yang diangkat sendiri oleh KPK.
Ketiga, penuntutan harus berkoordinasi dengan kejaksaan agung. Secara independen, kata Henri, seharusnya penuntutan bisa dilakukan oleh KPK berdasarkan material hasil penyidikan.
"Sehingga bahasa koordinasi ini akan menjadikan proses yang berbelit, lamban dan berpeluang untuk diintervensi," katanya.
Keempat, terkait hilangnya kriteria penanganan kasus yang meresahkan publik. Pembatasan kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi dalam revisi undang-undang ini dilakukan dengan menghilangkan kewenangan untuk menangani kasus yang meresahkan publik.
Dia menilai hal ini akan menyulitkan penanganan suap bagi KPK dimana saat ini masih marak terjadi. Selain itu, selama ini banyak kasus yang dikembangkan oleh KPK berdasarkan pengaduan publik.
Kelima, KPK diperbolehkan menghentikan penyidikan dan penuntutan. Padahal selama ini, salah satu keistimewaan KPK yaitu kasus yang telah ditangani tidak boleh dihentikan.
Penghentian penyidikan dan penuntutan, kata Henri, akan membuka peluang intervensi. Dia menilai pengadilan merupakan lembaga yang tepat untuk menguji kebenaran hasil-hasil penyidikan dan penuntutan tersebut.
"Jika memang Presiden Jokowi berpihak pada penguatan pemberantasan korupsi untuk Indonesia lebih bersih, maka kami meminta agar Presiden menolak usulan revisi tersebut dan tidak mengirimkan surat presiden (Supres) untuk membahas Revisi UU KPK tersebut," kata Henri.
[Gambas:Video CNN] (pmg/ugo)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2AnKPcv
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Petisi Desak Jokowi Tolak Revisi UU KPK Menguat"
Post a Comment