Surpres itu membuat sejumlah elemen masyarakat, termasuk para pegiat antikorupsi geger. Sebab urusan capim KPK yang mereka tolak karena bermasalah belum kelar. Apalagi, pada akhirnya Komisi III DPR resmi memilih lima capim, termasuk Firli Bahuri yang ramai-ramai mereka tolak karena dugaan pelanggaran etik makin membuat senewen.
KPK dan para pegiat antikorupsi kompak menilai telah terjadi pelemahan terhadap KPK. Mulai dari poin-poin dalam revisi, sampai terpilihnya Firli sebagai capim sekaligus Ketua KPK, dianggap memiliki agenda terselubung.
Jokowi sendiri telah secara resmi mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin mewakili pemerintah untuk menyampaikan sikap dan pandangan terkait substansi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR ini.
Meski menyetujui pembahasan soal revisi UU KPK, pada prinsipnya Jokowi juga menolak sejumlah poin dalam draf yang sebelumnya telah disodorkan DPR.
Sementara Jokowi menyetujui keberadaan dewan pengawas, penyadapan seizin dewan pengawas, kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan menyetujui pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK berstatus aparatur sipil negara (ASN).
Lewat surpres dan penyetujuan poin-poin itu, Jokowi dinilai tak benar-benar tegas untuk memperkuat KPK. Sebaliknya, dia hanya mengurangi dosis berat dari gejala upaya melemahkan lembaga antikorupsi tersebut.
"Dosis berat pelemahan KPK oleh DPR dikurangi sedikit oleh Presiden, tidak ada penguatan," kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Minggu (15/9).
Pengurangan dosis pelemahan KPK ini salah satunya tergambar dari pemilihan Dewan Pengawas KPK. Jokowi hanya mengubah mekanisme pemilihan, padahal fungsi dan eksistensi pengawas ini tetap sama.
"Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis izin penyadapan KPK. Konsekuensi penyadapan KPK prosesnya lambat, dan bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap," kata dia.
Menurut Kurnia ada konflik kepentingan dalam pembahasan RUU KPK ini. Hal ini tak lepas dari banyaknya anggota dewan yang jadi pesakitan di KPK. Dalam catatan ICW, sepanjang lima tahun terakhir setidaknya 23 anggota DPR 2014-2019 telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
"Bahkan Ketua DPR RI, Setya Novanto, bersama Wakil Ketua DPR RI, Taufik Kurniawan pun tak luput dari jerat hukum KPK," kata dia.
Tak hanya itu, hampir seluruh partai politik di DPR periode 2014-2019, kadernya juga sudah pernah terjaring KPK.
"Dari Partai Golkar ada delapan orang. PDIP ada tiga orang, PAN ada tiga orang, Demokrat ada tiga orang. Kemudian ada Hanura dua orang, PKB satu orang. PPP satu orang, Nasdem satu orang dan PKS satu orang," kata dia.
Dalam catatan ICW isu revisi UU KPK mulai bergulir sejak tahun 2010 silam. Dalam draf yang sekarang beredar secara praktis tidak banyak perubahan dengan draf-draf sebelumnya. Narasi penguatan KPK pun seakan hanya sebatas 'tong kosong nyaring bunyinya'.
Kurnia pun meminta sebaiknya DPR dan pemerintah bisa segera menghentikan pembahasan RUU KPK ini. Sebab akan jauh lebih bijaksana apabila DPR memfokuskan kerja pada regulasi penguatan pemberantasan korupsi.
"Seperti revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, rancangan UU Perampasan Aset, dan rancangan UU Pembatasan Transaksi Uang Tunai," katanya.
Namun jika memang DPR dan pemerintah tetap bersikukuh untuk membahas aturan yang sebenarnya mengebiri KPK ini, maka tak ada jalan lain selain pengawalan dari masyarakat demi pemberantasan korupsi terus terjamin di negeri ini.
"Tak ada jalan lain, selain seluruh masyarakat Indonesia yang mengawal isu revisi UU KPK dan melawan berbagai pelemahan pemberantasan korupsi," kata dia.
[Gambas:Video CNN] (tst/osc)
from CNN Indonesia https://ift.tt/302ATUj
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Dosis Ringan' Jokowi di Tengah Upaya Pelemahan KPK"
Post a Comment