Untuk merealisasikan rencana itu, Pemprov DKI bakal membangun sejumlah infrastruktur pendukung di atasnya. Sehingga trotoar di Jakarta ke depannya bakal lebih estetik namun tetap punya peluang bisnis. Pemprov pun menjamin pengakomodasian PKL tak bakal merenggut hak pejalan kaki.
Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Nirwono Joga menganggap rencana Anies untuk menjadikan trotoar punya peluang bisnis dan nilai estetika di waktu bersamaan hampir mustahil dilakukan. Hal ini menyusul keberadaan Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan serta UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan masih berlaku.
Dalam kedua peraturan itu, PKL dilarang berjualan di atas trotoar. Peraturan itu harus dipatuhi tanpa pengecualian. Artinya keinginan Anies untuk megakomodasi PKL di atas trotoar secara nyata terbentur peraturan.
"Selama UU itu masih berlaku, pemerintah provinsi DKI dan seluruh Pemda se-Indonesia terikat untuk diwajibkan mematuhi peraturan tersebut yang melarang PKL untuk berjualan," kata Nirwono kepada CNNIndonesia.com, Selasa (10/9).
"Penerapan dengan syarat tidak mengganggu ruang minimal untuk berjalan kaki terbukti tidak efektif di lapangan. Kita bisa lihat kasus Tanah Abang, Jatinegara dan Pasar Senen tidak efektif," jelas dia.
Nirwono melihat sebetulnya ada cara lain yang bisa dilakukan Anies untuk mengakomodasi PKL di tempat lain agar estetika trotoar bisa terjaga. Salah satunya menggalakkan kembali kebijakan agar mal-mal di Jakarta menyisihkan lahannya untuk menampung PKL. Kebijakan ini dulu pernah diterapkan Pemprov DKI.
"Mereka (mal) wajib menyediakan 10 persen lahan untuk menampung PKL seperti di Gandaria City, Gedung Perkantoran, untuk jenis makanan dan minuman. Atau minimal PKL diikutkan dalam kegiatan festival seni," ujar dia.
Nirwono mengingatkan kebijakan penampungan PKL di mal itu hanya dapat diambil jika DKI memiliki data yang baik tentang jumlah PKL. Dalam hal ini Dinas Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bisa menjalankan tugasnya untuk mengecek data para PKL di lapangan.
"Prinsipnya PKL tidak boleh berjualan di trotoar tetapi pemda dapat mewadahi tempat berjualan seperti di atas sehingga tidak ada yang dirugikan dan melanggar hukum," ujar dia.
Tidak tanggung-tanggung Bina Marga pun sudah menganggarkan sekitar Rp300 miliar dari APBD DKI 2020 untuk memuluskan rencana pembenahan trotoar di sejumlah titik ini.
Pedagang kaki lima (PKL) memenuhi trotoar di kawasan Tanah Abang. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja).
|
Siasat Contek Luar Negeri
Sementara itu Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi juga tak kalah pesimisnya dengan revitalisasi trotoar menjadi multifungsi. Dia menganggap bahwa nilai estetika trotoar bisa saja hilang ketika kembali diduduki oleh PKL.
Dia menjelaskan, jika Anies masih ingin menempatkan PKL di atas trotoar, maka ada sejumlah langkah yang harus ditempuh.
Pertama harus ada revisi UU tentang Jalan yang memperbolehkan ada aktivitas PKL di atas pedestrian. Setelah itu Pemprov DKI membuat landasan hukum seperti Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur.
"Untuk revisinya itu bukan di DPRD tapi harus ke DPR dulu dan kemudian dibuatkan landasannya di Perda dan Pergub," kata Yogi kepada CNNIndonesia.com.
"PKL sudah ada license for sale, para PKL kalau enggak ada harus register dulu. Tapi dari pemerintah titiknya sudah jelas dan PKL sudah sertifikat untuk berjualan," jelas dia.
Terakhir, jika Anies memang ingin mencontek luar negeri dalam menerapkan trotoar multifungsi harus ada sosialisasi pemahaman kepada para PKL di Jakarta tentang ketertiban dan estetika. Dengan cara itu diharapkan peluang bisnis dan estetika di waktu bersamaan bisa dilakukan di trotoar.
"Teman-teman DPRD biasanya bisa mengeluarkan perda ketertiban, keamanan, keindahan, dan bisa dimasukkan titik mana saja menjadi pusat PKL oleh peraturan gubernur," tutup dia.
[Gambas:Video CNN] (ctr/osc)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2N8VXlQ
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Keniscayaan Anies 'Sulap' Trotoar untuk PKL Terbentur Aturan"
Post a Comment