Pemerintah, yakni DPR dan presiden Joko Widodo sudah menyetujui untuk merevisi peraturan tersebut. Jokowi sudah mengirim surat presiden (Surpres) kepada DPR untuk mengambil langkah guna merevisi peraturan tersebut.
Upaya Jokowi itu membuat elemen masyarakat sipil yang kontra terhadap revisi UU KPK dibuat terperangah sekaligus geger. Sebab, mereka menyayangkan Jokowi tak menepati janji kampanyenya saat Pilpres 2019 untuk memperkuat kinerja KPK.
Meski menyetujui pembahasan soal revisi UU KPK, pada prinsipnya Jokowi juga menolak sejumlah poin dalam draf yang sebelumnya telah disodorkan DPR.
Melihat hal itu, Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengusulkan ada 'jalan tengah' bagi Jokowi dan DPR untuk menyelesaikan pro kontra terkait revisi UU KPK.
Erwin meminta DPR segera menunda sementara rencana revisi UU KPK sebagai jalan untuk meredam gejolak. Ia menyarankan revisi UU KPK dapat dibahas dan dibicarakan kembali oleh anggota DPR periode 2019-2024 mendatang.
"Harus ada jalan tengah bagi persoalan ini, bagi saya, jalan tengahnya adalah RUU KPK ini sebaiknya dibahas oleh DPR periode mendatang agar dapat menghasilkan produk legislasi yang bagus dan partisipatif," kata Erwin kepada CNNIndonesia.com, Minggu (16/9).
Erwin memandang anggota DPR saat ini terkesan 'kejar tayang' dalam membahas revisi UU KPK sebelum masa tugasnya berakhir akhir bulan September. Bahkan DPR sama sekali tak melibatkan elemen masyarakat sipil antikorupsi atau para pimpinan KPK sekalipun dalam pembahasan tersebut. Padahal revisi itu terkait dengan nasib KPK sendiri.
"Jokowi dan DPR harus transparan membahas RUU ini. Publik dan KPK berhak tahu dalam proses kebijakan sepenting ini apa saja poin-poin yang sedang dibahas," kata dia
Selain itu, Erwin menyinggung delik dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) terdapat asas keterbukaan kepada masyarakat dalam membuat peraturan.
Erwin pun meminta DPR untuk mengikuti prosedur dalam UU PPP itu sebagaimana mestinya seperti yang sudah diatur secara hukum. Terlebih lagi revisi UU KPK tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2019.
"Jokowi dan DPR harus meminta pandangan KPK terhadap RUU ini. Bagaimana mungkin kebijakan yang mempengaruhi nasib KPK secara kelembagaan, KPK sendiri tidak dimasukan dan didengarkan sebagai pihak yang berkepentingan terhadap UU ini," tambahnya.
Erwin menekankan bahwa publik sebenarnya tak akan alergi dengan perubahan suatu peraturan perundang-undangan bila dilibatkan secara partisipatif dalam proses pembahasannya. Menurutnya, hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini karena masyarakat tak dilibatkan sama sekali dalam pembahasan RUU KPK.
"Publik tak anti perubahan, namun DPR dalam waktu yang singkat ini, kebijakan publik apa yg diharapkan? Apalagi RUU ini cacat formal karena tidak masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2019," kata Erwin.
Hal itu lantas berimplikasi memunculkan gejolak masyarakat yang menilai pemerintah sedang berusaha melemahkan KPK secara sistematis saat ini. Dia pun meminta Jokowi bertemu dengan pimpinan KPK sebagai jalan keluar untuk meredam situasi ini.
"Menurut saya, jalan tengahnya ada baiknya Jokowi membuka pertemuan diskusi dengan KPK," kata Wasito kepada CNNIndonesia.com.
Wasisto menduga Jokowi saat ini tengah terjebak oleh para parpol pendukungnya. Sehingga mau tak mau harus mendukung langkah revisi UU KPK tersebut.
Melihat kondisi itu, Wasisto menilai sudah seharusnya Jokowi dan DPR menunda sementara pembahasannya revisi UU tersebut. Ia menyarankan pembahasan dapat dilanjutkan oleh DPR periode selanjutnya agar lebih komprehensif
"Revisi UU KPK yang sekarang ini kan cacat secara legal dan sosial. Kalaupun mau disahkan itupun juga tidak bisa berlaku surut karena harus nunggu PP. Saya pikir penundaan itu adalah hal logis," kata dia.
[Gambas:Video CNN] (rzr/osc)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2O2Uai3
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menimbang Jalan Tengah untuk Redam Gejolak Revisi UU KPK"
Post a Comment