LIPUTAN KHUSUS
Ryan Hadi Suhendra, CNN Indonesia | Jumat, 27/12/2019 11:54 WIB
Jakarta, CNN Indonesia -- Dwi Siti Rhomdoni tak bisa menutupi ekspresi pucat pada wajahnya ketika kami bertemu di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, pada November lalu.Pada 14 Januari 2016, di tempat yang sama, perempuan yang karib disapa Dwiki itu menjadi salah satu korban aksi teror yang dilakukan anggota teroris afiliasi Jemaah Ansharut Daulah (JAD).
Pada pagi serangan teror terjadi, Dwiki sedang menjalani rapat kerja dengan perwakilan Pemkot Jambi yang menjadi klien tempatnya berkarier.
Pertemuan di Kedai Kopi itu terhenti mendadak karena ledakan di seberang pos polisi simpang jalan MH Thamrin yang menjadi sasaran serangan teroris.
"Sudah berubah [tata letaknya]," lirih Dwiki sapaan akrabnya ketika bertemu CNNIndonesia.com di kedai kopi yang sama, Kamis (21/11).
Dwiki mengaku baru menginjakkan kaki kembali di tempat tersebut. Terakhir kalinya ia berkunjung ke sana adalah saat memperingati satu tahun Bom Thamrin, atau tepatnya Januari 2017. Itu pun, aku dia, tidak sampai masuk ke tempat tersebut.Bukan tanpa sebab ia jarang pergi ke tempat itu, trauma atas peristiwa teror bom Thamrin 2016 sangat lama menghantuinya.
Pikiran Dwiki pun kembali ke Januari 2016 saat serangan teror terjadi. Ia mengatakan kala itu dirinya duduk membelakangi jalan dalam pertemuan dengan klien perusahaannya. Dan, tiba-tiba terjadi ledakan yang membuatnya terlempar hingga sempat tak sadarkan diri.
Saat sadar dengan cepat, diakui Dwiki, dirinya melihat yang lain panik tapi dia tak bisa mendengar apa-apa. Pendengarannya sempat terganggu sesaat hingga suara panik terdengar jelas. Indra penglihatannya bekerja cepat untuk mencari jalan ke luar. Dwiki bergerak ke sisi kanan tempat tersebut dengan merangkak hati-hati melewati reruntuhan bangunan yang porak-poranda akibat ledakan.
Beberapa detik setelah berhasil melewati pecahan kaca, melompati jendela untuk mencapai jalan luar, ia melihat tumpukan empat orang lain yang tergeletak.
Salah seorang rekan Dwiki melihatnya, lalu menyeretnya untuk dievakuasi menjauh dari titik teror.
"Digeret aja tuh kaki saya dari situ ke luar Sarinah. Ditarik yang penting jauh dari lokasi. Terus ada taksi, [sopir] taksi sebenarnya gemeteran. Tapi melihat dia [rekan Dwiki] bawa orang, sudah ngegeret ini. Ada tiga orang korban yang berdarah, saya enggak," cerita dia.
Dwiki mengatakan dibawa ke Rumah Sakit YPK Mandiri yang keberadaannya tidak jauh dari lokasi teror bom Thamrin. Melihat baju sudah penuh darah, dokter terus menanyakan kondisinya."Dokter cuma bilang apa yang dirasa. Saya enggak bisa ngomong. Terus dokter masukan kapsul warna putih, karena saya enggak bisa bicara, mangap terus, dimasukkan lewat anus," katanya.
Lima belas menit kemudian barulah ia bisa berbicara. Dokter masih terus menanyakan bagian tubuh mana yang menderita sakit karena khawatir terdapat luka dalam. Kepada dokter, ia mengaku mengalami sakit kepala dan leher.
Mendengar jawaban tersebut, dokter merujuk Dwiki agar pindah ke rumah sakit lain yang memiliki fasilitas lebih lengkap.
Akhirnya, sang teman langsung mengantar Dwiki ke beberapa rumah sakit mulai dari RS Abdi Waluyo di Menteng, lalu RS MMC di Kuningan. Namun, kedua rumah sakit itu tidak bisa menampung pasien lantaran sudah penuh. Mereka pun mencari rumah sakit lagi. Tapi, peristiwa bom tersebut membuat aparat keamanan memblokade sejumlah ruas jalan. Dwiki dan temannya harus mencari jalanan lain hingga akhirnya tiba di kawasan Slipi, Jakarta Barat.Isu mengenai ledakan bom di tiga titik di Slipi, Jakarta Barat, kembali menciptakan rasa was-was. Apalagi, Dwiki terus berteriak kesakitan di dalam mobil. Pada akhirnya mereka menemukan Rumah Sakit Medika Permata Hijau dan segera masuk ke UGD.
"Saya sudah bilang, 'Dokter, saya sakit. Aduh dokter, saya sakit', leher saya itu kan terkulai-kulai, dibenerin lagi, udah menunduk, dibenerin lagi. Pokoknya sakit," kata Dwiki dengan gestur tubuh mempraktikkan cara membetulkan kepala yang terkulai.
Dwiki didiagnosis mengalami patah tulang leher. Di hadapan CNNIndonesia.com, Dwiki menggerakkan telapak tangannya ke bagian belakang leher menunjukkan titik luka. Kala itu, kata dia, ia didiagnosis patah hingga tiga ruas tulang.
"Saya pikirannya, wah, kalau saya cacat gimana, ya. Langsung mikir keluarga tuh. Sudah mulai benci ke pelaku, sudah mulai marah, satu minggu sudah enggak stabil. Makanya didatengin terus setiap 2 jam sekali, awalnya psikolog terus psikiater," kenangnya.
Dokumentasi Dwi Siti Rhomdoni, korban Bom Thamrin 2016, saat tengah menjalani perawatan patah tulang leher. (Dok. Dwi Siti Rhomdoni)(Dok. Dwi Siti Rhomdoni)
|
Dwiki seperti kehilangan arah. Namun beruntung, lentera menjelma sejumlah anggota Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dan Aliansi Indonesia Damai (Aida) berhasil membuatnya bangkit dari situasi terpuruk.
Untuk diketahui, YPI merupakan wadah berkumpulnya para korban dan keluarga korban dari Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kuningan, Kedubes Australia dan Bom JW Marriot. Sementara Aida merupakan organisasi yang sejak didirikan memiliki tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme.
Dwiki menyebut dirinya secara emosional perlahan bangkit setelah mendengar kondisi korban teror lainnya.
"Pas lihat mereka, ada yang matanya enggak ada, tempurungnya harus pakai mesin, rahangnya harus dioperasi 21 kali, ah pokoknya lebih parah deh. Terus luka bakar 85 persen," ujar Dwiki.
"Saya melihatnya, mereka lebih parah dari saya, saya enggak ada cacat satu pun, masa iya saya enggak bisa (bangkit)," lanjutnya.
Ia pun melanjutkan perjuangan. Di satu sisi, Dwiki bersyukur respons pemerintah dalam melihat peristiwa Bom Thamrin sangat cepat. Biaya perawatan tiga bulan di RS Medika Permata Hijau, seluruhnya ditanggung Pemprov DKI Jakarta. Setelah itu, ia dipindahkan ke RS Polri. Berdasarkan keterangan dari Biddokkes RS Polri, Dwiki diharuskan memakai Cervical Collar atau penyangga leher untuk waktu enam bulan.
Dwiki menjelaskan dirinya menghabiskan waktu 10 bulan untuk bisa benar-benar pulih. Kehidupannya tidak lagi normal. Ia kesulitan makan, tidur, dan juga mandi. Ketika sedang sendiri, emosinya kerap meninggi karena tak ada pemasukan lantaran absen bekerja.
"Aduh, enggak punya pendapatan. Pertama saya sudah tahu saya sakit ini. Sudah terpuruk iya. Kemudian saya tulang punggung keluarga, tiba-tiba enggak ada penghasilan. Itu terpuruk banget. Makanya emosinya kalau misalkan enggak ada teman-teman, kalau lagi sendiri, tiba-tiba marah-marah. Aduh bulan ini saya enggak dapat uang nih, aduh gimana Ibu, ya," tutur dia.
Itulah gambaran kehidupan Dwiki selama 10 bulan. Ia terpaksa berhutang Rp60 juta kepada teman. Uang itu dipinjam secara bertahap untuk keperluan sehari-hari dan pemberian bulanan kepada Ibunya meski dia tak bekerja.
Kompensasi sebagai korban teroris yang kemudian didapat dari Pemerintah pada 2018 lalu akhirnya dipakai Dwiki untuk membayar utang tersebut.
Perjuangan Keras Memulihkan Trauma Pascabom Thamrin
BACA HALAMAN BERIKUTNYAfrom CNN Indonesia https://ift.tt/2MuYaWQ
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Dwi, Korban Bom Thamrin yang Berdamai dengan Dendam"
Post a Comment