Belakangan, Nadiem meluruskan pernyataannya tidak menghapus UN, tapi menggantinya dengan program Assesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Program terbaru dari Kemendikbud itu nantinya akan menggantikan pelaksanaan UN pada 2021.
Di hadapan Komisi X DPR Nadiem menegaskan bahwa keputusan itu ada landasannya dan disusun oleh Kemendikbud berdasarkan inspirasi dari program asesmen seluruh dunia.
"Itu step pertama kita untuk merdeka belajar. Belum ngomongin kompetensi guru, bagaimana meningkatkannya, belum membicarakan kesejahteraan guru, belum membicarakan penyederhanaan kurikulum, penyederhanaan kompetensi dasar dan lain-lain," ucapnya.
Permasalahan pendidikan memang tidak bisa dipecahkan secara spasial. Pemerintah Indonesia setelah reformasi sebenarnya telah berupaya secara sadar untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui pemberian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 20 persen bagi pendidikan.
Sayang, kenyataannya tingkat pendidikan kita masih dinilai rendah oleh dunia. Salah satunya oleh Program for Internasional Student Assesment (PISA) yaitu program penilaian tingkat dunia yang menguji performa akademis siswa berusia 15 tahun yang dilaksanakan oleh Organisasi Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).
Menurut laporan PISA tahun 2015 --program yang mengurutkan kualitas sistem pendidikan di 72 negara-- Indonesia menduduki peringkat 62. Ranking PISA menunjukkan negara yang memiliki sistem pendidikan terbaik di dunia adalah Singapura, Jepang, Estonia, Taipei, Finlandia.
PISA membuat peringkat tersebut dengan cara menguji pelajar usia 15 tahun untuk mengetahui apakah mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan di bidang ilmu pengetahuan alam, membaca, dan matematika, yang diperlukan agar bisa berpartisipasi penuh dalam masyarakat modern.
PISA berlandaskan asumsi bahwa seseorang bisa sukses di ekonomi modern bukan karena apa yang mereka tahu, tetapi apa yang bisa mereka lakukan dengan apa yang mereka tahu.
Makna Pendidikan
Lalu apa hubungannya dengan pernyataan Nadiem? Setiap tokoh saat diberi kewenangan sebagai Menteri Pendidikan di negeri ini, pasti risau melihat realitas proses dan kualitas pendidikan. Bila ditarik benang merah dari menteri-menteri pendidikan sejak orde baru hingga kini, mereka memiliki kekuatiran sama, yaitu Pemerintah belum bisa menerapkan arti pendidikan, yaitu usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat dan kebudayaan.
Pemerintah bersama DPR telah mempertegas arti Pendidikan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tahun 2003. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Dari UU Sisdiknas ini jelas bahwa potensi yang dikembangkan dari siswa tidak hanya kepintaran mengelola kecerdasan otak, tapi juga penguasaan nilai-nilai spiritual, kepribadian, akhlak dan juga ketrampilan.
Maka jelas, bila mengandalkan Ujian Nasional sebagai satu-satunya komponen penilai keberhasilan siswa tentu salah besar. Karena itu, menteri perlu mencari indikator yang lebih tepat.
Berbasis Karakter
Dalam upaya mewujudkan tujuan UU Sisdiknas, Pemerintah sudah berupaya dengan mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Karakter tahun 2013. Kurikulum ini menargetkan perkembangan siswa tidak hanya pada kecerdasan akademis, namun juga akhlak, spiritual, kepribadian dan ketrampilan. Namun, sayang penerapan kurikulum ini masih tertatih-tatih.
Jangankan bicara soal sekolah-sekolah terpencil, bagi sekolah di perkotaan saja sulit menerapkan kurikulum ini. Pasalnya, saat ini kita masih menghadapi beberapa kendala, antara lain: keterbatasan akses pendidikan (ruang kelas), jumlah guru yang belum merata, serta kualitas guru yang masih kurang di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Kendala itu tentu harus segera didorong menuju percepatan pembangunan yang berorientasi Sumber Daya Manusia (SDM). Karena, kita tidak lagi pada posisi uji coba dalam Sisdiknas, sebab salah satu pendukung yang berbasis teknologi digital (online) sudah merambah di mana-mana.
Teknologi itu bisa dimanfaatkan sebagai sumber informasi cepat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sistem pembelajaran yang menggunakan kecepatan teknologi telah menyebar luas. Seolah terjadi ekspansi besar-besaran sumber ilmu pengetahuan berkat teknologi digital.
Sumber ilmu pengetahuan seakan terjadi eksodus besar-besaran dalam memanfaatkan teknologi digital (online). Kondisi ini pasti disadari benar oleh Menteri yang telah sukses membangun bisnis ojek online ini.
Perubahan Radikal
Permasalahan lain yang dihadapi pendidikan di Indonesia adalah ketimpangan sosial. Penulis menilai bila bangsa ini ingin segera bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalan kualitas SDM, diperlukan perubahan radikal dalam pendidikan.
Untuk itu, teori pendidikan alternatif milik Ivan Illich yang tidak hanya pada batas 'Merdeka Belajar', perlu diterapkan oleh Pemerintah. Tokoh pendidikan asal Wina ini menawarkan alternatif atas proses yang ia sebut dehumanisasi di ruang (pendidikan). Yaitu, demokrasi dalam memperoleh pendidikan, dalam sistem pembelajaran dan pengembangan kurikulum.
Dalam pendidikan alternatif, sistem pendidikan yang baik dan membebaskan harus memberi kesempatan pada semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar setiap saat.
Selain itu, sistem pendidikan harus mengizinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka pada orang lain dengan mudah, demikian pula bagi orang yang ingin mendapatkannya.
Saat ini, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2016 tentang Penataan Linieritas Guru Bersertifikat Pendidik, sangat mengganggu kemajuan peningkatan kualitas guru dan sekolah. Pasalnya, apabila seorang guru dalam mengajar tidak linier dengan latar belakang keilmuan, maka dia tidak mendapat penghargaan semestinya. Meski ia menguasai materi yang ia ajar.
Karena itu, menurut Illich, perlunya membebaskan masyarakat dari kecenderungan menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan. Hal ini, mau tidak mau, akan menghapus perbedaan ekonomi, pendidikan, dan politik yang menjadi tumpuan stabilitas tatanan dunia.
Pendek kata, dengan kondisi Indonesia saat ini, Nadiem tidak cukup hanya berpikir sampai 'Merdeka Belajar' namun dibutuhkan radikalisme pendidikan atau demokratisasi dalam memperoleh pendidikan; sistem pembelajaran; dan pengembangan kurikulum.
Singkatnya, pendidikan bukan hanya untuk mendapatkan selembar ijazah, tapi yang terpenting penguasaan ilmu dan ketrampilan di bidang tertentu. Bukankah, hal ini, sudah banyak ditunjukkan oleh tokoh dunia maupun bangsa ini? (vws)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2sx1JVC
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menanti Perubahan Radikal Pendidikan Indonesia"
Post a Comment