Penerbitan DPO ini dilakukan karena Veronica tak kunjung memenuhi dua kali panggilan pemeriksaan dari polisi. Padahal polisi telah mengirimkan surat panggilan, baik ke alamatnya di Indonesia maupun yang ada di luar negeri.
Polisi sempat memberi toleransi waktu lima hari hingga 18 September lalu agar Veronica memenuhi panggilan. Namun panggilan itu tak juga dipenuhi.
Perkara ini berawal ketika kericuhan pecah di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur, Agustus lalu. Polda Jatim kemudian menetapkan Veronica sebagai tersangka provokasi insiden asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 4 September lalu.
Aktivis Papua itu diduga terlibat aktif menyebarkan informasi di media sosial bernada provokasi, terutama lewat akun Twitter pribadinya. Ia mencuitkan sejumlah seruan mobilisasi aksi ke jalan di Jayapura dan sejumlah kota di Papua.
Akibat kicauannya itu, Veronica dijerat dengan pasal berlapis yakni UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), KUHP 160 tentang menghasut di muka umum, UU 1/1946 tentang penyebaran informasi bohong, dan UU 40/2008 tentang rasis dan etnis.
Namun Veronica masih melontarkan kicauannya di akun Twitter tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kicauannya, Veronica mengabarkan keberadaan 20 warga yang diamankan karena mendistribusikan leaflet antirasialisme di Merauke menggunakan bahasa Inggris.
Polemik pun mulai muncul ketika polisi meminta pencabutan paspor Veronica ke Ditjen Imigrasi. Pemintaan ini didasari keberadaan Veronica yang diduga tinggal bersama suaminya, seorang warga negara asing di luar negeri.
Selain pencabutan paspor, polisi juga memblokir akun media sosial dan rekening pribadi Veronica. Ia saat itu juga dikabarkan menggunakan beasiswa dari pemerintah untuk kuliah namun tak pernah melaporkan dana yang digunakan.
Polri meminta bantuan Interpol untuk memburu Veronica karena berada di luar negeri.
![]() |
"Kepolisian telah menyalahgunakan wewenang dan sudah sangat berlebihan dalam upaya mengkriminalisasi saya baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada," tulisnya.
Kasus Veronica ini pun tak luput dari perhatian ahli independen di bawah naungan Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Mereka mendesak pemerintah Indonesia mencabut status tersangka Veronica.
Namun desakan itu dijawab pemerintah yang menganut prinsip kesetaraan di hadapan hukum dan asas praduga tak bersalah.
Dalam prosesnya, polisi juga mengirimkan surat ke pihak Divisi Hubungan Internasional Polri untuk menerbitkan red notice atau permintaan untuk menemukan dan menahan sementara terhadap seseorang yang berada di luar negeri hingga melakukan ekstradisi.
Red notice ini akan disebarkan ke-190 negara lainnya. Hanya saja proses permohonan red notice ini memerlukan waktu yang lebih lama.
Hingga akhirnya polisi resmi menerbitkan DPO untuk Veronica hari ini, Jumat (20/9). Surat DPO bernomor DPO/37/IX/RES.2.5./2019/DITRESKRIMSUS itu dikeluarkan oleh kepolisian setelah melakukan sejumlah rangkaian gelar perkara.
[Gambas:Video CNN] (psp/pmg)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2QijIuk
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kronologi Kasus Veronica Koman Hingga Masuk Daftar Buron"
Post a Comment