Kantor hukum dan hak asasi manusia Lokataru Foundation menyoroti penangkapan terhadap mahasiswa yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan peraturan maupun prosedur terkait penahanan.
Deputi Direktur Bidang Riset Lokataru Foundation Mufti Makarim berpendapat tindakan represif aparat merupakan cermin negara yang tidak menghargai dan melindungi kebebasan berkumpul maupun berpendapat. Pihaknya pun mempertanyakan cita-cita demokrasi di pemerintahan Jokowi.
"Jadi kalau sekarang justru alergi dengan freedom of speech [kebebasan berpendapat], ini jangan-jangan kita punya cita-cita demokrasi yang ambigu," ujar Mufti dalam diskusi publik di Jakarta, Senin (28/10).
Berdasarkan data penahanan yang dikumpulkan Tim Advokasi untuk Demokrasi, ada sekitar 25 orang mahasiswa yang berstatus ditahan, alias memenuhi unsur tindak pidana. Namun belum ada kejelasan apakah ada penundaan penahanan mereka atau terus ditahan oleh kepolisian.
"Pasal-pasal yang dikenakan pada masing-masing mahasiswa sendiri belum jelas hingga hari ini," kata Mufti.
Selain itu, ada 17 nama yang tidak terdaftar di dua lokasi penahanan tersebut. Berdasarkan pantauan Lokataru, hanya ada dua mahasiswa yang sudah dilepas dan dikonfirmasi oleh rekannya. Sisanya tersebar di beberapa sub direktorat kepolisian.
Ribuan mahasiswa memadati Jalan Gerbang Pemuda menuju depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (30/9/2019). (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
|
Lokataru mencatat hanya dua daerah yang melakukan penyelidikan terkait dugaan kekerasan oleh aparat kepolisian selama aksi #ReformasiDikorupsi, yaitu Kendari dan Ternate. Sementara di Jakarta, Bandung, dan Makassar yang menelan korban luka dan meninggal dunia, kata Mufti, tidak ditemukan sama sekali upaya penyelidikan.
Mufti menyebut tindakan represif aparat merupakan upaya pengerdilan ruang kebebasan sipil di Indonesia. Lokataru pun berharap pemerintah beserta aparatnya tidak bersikap anti-kebebasan berpendapat.
"Pembubaran aksi demonstrasi oleh pihak kepolisian dinilai telah sembrono menerapkan penggunaan kekerasan dan intimidasi secara berlebihan terhadap demonstran (excessive use of force)," tambahnya.
Tim Advokasi untuk Demokrasi sebelumnya juga mencatat, kepolisian diduga melanggar Pasal 28E UUD 1945, Pasal 5 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Depan Umum, serta Perkap Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Pada awal Oktober lalu, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana yang juga tergabung dalam Tim Advokasi menyebut kepolisian melakukan perburuan terhadap para demonstran yang mengikuti unjuk rasa 24 hingga 30 September.
"Yang ditangkap ini luar biasa besar, mencapai kurang lebih ada 1.489 orang yang ditangkap polisi dan kurang lebih 380 jadi tersangka. Saya kira ini angka yang besar dan fantastis untuk bangsa kita. Baru kali ini ada aksi damai di tanggal 24, 25, sampai 30 September kemudian dilakukan penangkapan yang begitu besar," kata Arif dalam jumpa pers di Kantor Kontras, Jakarta, Jumat (4/10).
Di pihak lain, kepolisian telah membentuk tim khusus untuk melakukan investigasi dugaan kekerasan terhadap sejumlah orang dalam demonstrasi yang berlangsung pada 24-30 September di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta.
Terkait meninggalnya dua mahasiswa di Kendari yang diduga tertembak saat mengikuti aksi pada September lalu, Presiden Jokowi juga telah memerintahkan kepolisian untuk melakukan investigasi atas kematian tersebut. Namun statusnya hingga kini masih pada tahap penyelidikan, sementara pelaku penembakan belum diketahui.
Gelombang aksi bertema #ReformasiDikorupsi mulai menguat ketika DPR dan pemerintah gencar merevisi undang-undang kontroversial di akhir masa jabatan 2014-2019. Aksi itu berlanjut hingga 28 Oktober lalu. Mereka masih mengusung tuntutan yang sama. Salah satunya mendesak pemerintah menerbitkan perppu KPK.
[Gambas:Video CNN] (pmg)
from CNN Indonesia https://ift.tt/31REykz
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Alergi Demonstrasi di Rezim Jokowi"
Post a Comment