Survei SMRC juga mengungkap 38 persen responden merasa takut dengan penangkapan semena-mena oleh aparat di masa pemerintahan Jokowi.
Anggota Tim Advokasi Demokrasi Arif Maulana mengatakan sikap pemerintah yang semakin represif belakangan menjadi indikator memburuknya kebebasan sipil di era Jokowi.
Sederet kasus menunjukkan pemerintah saat ini cukup 'alergi' dengan kritik hingga aksi demo yang dianggap merugikan rezim.
"Penyampaian pendapat di muka umum itu semestinya menjadi hak konstitusional yang dijamin UU. Itu kan hak, tapi sekarang seolah-olah dipandang sebagai kejahatan, kriminal. Padahal itu harusnya dilindungi dan difasilitasi oleh kepolisian. Sekarang justru direpresi," ujar Arif kepada CNNIndonesia.com, Selasa (5/11).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mencatat gelombang demonstrasi yang terjadi sepanjang 2019 ini telah menimbulkan 6.128 orang korban, 51 di antaranya tewas dan 324 orang korban tercatat masih anak-anak. Banyak mahasiswa dan pelajar ditahan.
Arif mengatakan yang dilakukan aparat itu alih-alih melindungi peserta aksi, justru menciptakan ketakutan. "Tujuannya bukan penegakan hukum tapi meneror pelajar, mahasiswa, masyarakat, hingga takut melakukan demo lagi. Begitu represif dan kepolisian akhirnya menjadi alat kekuasaan," katanya.
Sikap represif oleh pemerintah Jokowi, lanjut Arif, juga ditunjukkan dengan pelarangan mahasiswa mengikuti aksi demo. Melalui rektor, mahasiswa dilarang mengikuti aksi demo. Bahkan mereka juga terancam drop out (DO) jika nekat mengikuti aksi tersebut.
Sikap itu dinilai Arif serupa dengan penerapan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) yang terkenal di masa orde baru.
NKK/BKK merupakan kebijakan yang dikeluarkan Presiden RI ke-2 Soeharto pada kurun waktu 1977-1978 untuk memecah gerakan mahasiswa yang cukup masif saat itu. Tujuannya membatasi kegiatan politik mahasiswa.
"Sekarang kampus dikondisikan dengan cara rektor diminta larang mahasiswa untuk demo. Ini situasinya semakin buruk, seperti kembali ke Orde Baru," ucap Arif.
Polisi saat mengawal aksi demonstrasi di Makassar, beberapa waktu lalu. (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)
|
Arif mengatakan, mayoritas aktor pelanggar adalah pihak kepolisian baik di level kepolisian sektor, resort, daerah, hingga Mabes Polri dengan catatan sebanyak 67 kali pelanggaran. Sementara dari satuan TNI sebanyak tujuh kali.
Dari temuan YLBHI, lanjut Arif, terdapat pola umum yang selalu dilakukan aparat dalam pelanggaran kebebasan berpendapat di muka umum.
Merujuk temuan YLBHI dalam satu kasus dapat terjadi lebih dari satu pola pelanggaran, salah satunya dengan penghalangan atau pembatasan aksi. Umumnya pola ini dilakukan dengan penggeledahan tanpa hak atau razia.
Kemudian perampasan alat pribadi atau pembukaan data pribadi (doxing). Pelanggaran juga dilakukan dengan pembubaran tidak sah yakni melalui pembubaran paksa, penggunaan alat secara berlebihan yakni gas air mata, peluru karet, hingga peluru tajam.
"Kami juga mencatat tindakan kekerasan dengan total 68 kejadian yang biasanya dilakukan dengan intimidasi disertai diskriminasi, penganiayaan, penyiksaan, hingga penggunaan peluru tajam," jelasnya.
YLBHI juga mencatat terjadi perburuan dan penculikan yang dilakukan dengan pola diburu, dikejar, dan diciduk usai aksi. Selain itu juga dugaan kriminalisasi dengan penangkapan atau salah tangkap, penahanan, penetapan tersangka, dan penghalangan pendampingan hukum.
Demo berujung bentrok massa dan polisi di kawasan sekitar Gedung DPR, Jakarta, September lalu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Belum lama ini jurnalis sekaligus pendiri rumah produksi WatchDoc Dandhy Laksono ditangkap karena diduga melanggar pasal tentang ujaran kebencian dalam UU ITE meski akhirnya dilepaskan. Dandhy selama ini memang dikenal vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintah.
"Sekarang orang yang kritik pemerintah dikenai pasal makar, ada juga UU ITE. Itu sering sekali digunakan untuk represi orang yang punya pandangan berbeda," ucap Arif.
Ancaman ini disebut Arif juga terjadi pada pekerja media. Menurutnya, jurnalis kerap menerima kekerasan saat meliput aksi atau mengangkat isu-isu tertentu yang mengkritik rezim. Padahal pekerjaan sebagai jurnalis telah dijamin oleh UU Pers.
Berbagai peristiwa tersebut dinilai Arif semakin jelas menunjukkan sikap Jokowi yang antidemokrasi. Bahkan sikapnya tak ubah dengan situasi orde baru di bawah Soeharto.Jokowi dianggap telah melupakan amanat Reformasi hingga kebebasan sipil dilupakan bahkan direpresi. Terlebih persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) kini tak lagi menjadi prioritas Jokowi. Dalam pidatonya usai pelantikan 20 Oktober lalu, mantan wali kota Solo itu bahkan tak menyinggung sama sekali persoalan HAM.
"Bisa dibilang Jokowi mau menghidupkan Neo Orba, menghidupkan Orde Baru. Yang terjadi sekarang adalah pemerintahan otoriter, makin hari sikapnya makin antidemokrasi," ucapnya.
Arif mengingatkan keberhasilan Jokowi sebagai presiden saat ini tak lepas dari proses demokrasi. Orang nomor satu di Indonesia itu dipilih oleh warga secara demokratis melalui proses pemilihan umum. Namun sikap yang ditunjukkan Jokowi selama ini justru resisten terutama pada kritik.
"Jokowi harus kembali ke konstitusi, reformasi. Jika tidak, negara kita akan mundur demokrasinya, kembali ke masa kegelapan, di mana orba nyawa itu murah, hukum jadi alat kekuasaan, dan kebebasan sipil direpresi. Jangan sampai kita kembali ke sana," kata Arief. (psp)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2pGtxpm
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jokowi, Neo Orba dan Awan Gelap Kebebasan Sipil"
Post a Comment