Search

Cerita Operator Pengendali Banjir Rela 'Korbankan' Istri-Anak

Jakarta, CNN Indonesia -- Banjir sudah merendam sebagian rumah warga ketika Sudarno menerima telepon dari anak perempuannya yang meminta dijemput. Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 23.30.

Rabu (1/1), di Stasiun Pompa Air Pengendali Banjir Pengadegan, tempat Sudarno bertugas, ketinggian air sudah melewati mata kaki. Padahal, tempat itu lebih tinggi dari pemukiman warga Pengadegan, Pancoran, Jakarta Selatan.

"Bapak lagi repot, nggak bisa jemput," jawab Sudarno di ujung telepon kepada Nadira, anaknya yang masih berusia 18 tahun.


Nadira bekerja di salah satu rumah makan di kawasan Cililitan. Menurut penuturan Sudarno, anak perempuannya itu meminta dijemput karena hujan mengepung sementara tak ada angkutan umum yang beroperasi.

Namun, Sudarno terpaksa tak bisa menjemput anak perempuan satu-satunya itu lantaran air sudah mengepung sebagian besar rumah warga di Kelurahan Pengadegan. Ia minta Nadira agar diantar temannya.

"Minta dianterin. Saya bilang gitu. Mungkin karyawan temannya juga ingin pulang. Udah setengah 12 kan baru keluar. Air sampe sini," tutur Sudarno kepada CNNIndonesia.com, menceritakan air yang saat itu sudah setinggi mata kaki di di Stasiun Pompa Pengendali Banjir Pengadegan, Sabtu (4/1).

Sudarno merupakan salah satu operator di Stasiun Pompa Pengendali Banjir kawasan Pengadegan. Ia sudah tujuh tahun bekerja di sana sejak didirikan pada 2013.

Sudarno sendiri tinggal di Pengadegan. Saat banjir hampir merendam semua rumah warga di wilayah itu sehari setelah perayaan tahun baru, rumahnya turut jadi korban. Banjir merendam rumah Sudarno hingga ketinggian lebih dari satu meter.

Saat banjir, alih-alih mengurus rumah dan keluarganya, Sudarno justru langsung berjaga di Stasiun Pompa untuk memantau keadaan. Malam itu, Rabu (1/1) ia ditemani salah satu petugas lain, Dudung (73 tahun) dan sejumlah warga memantau pergerakan air yang sudah meluap. Demi tugas dan tanggung jawab, Sudarno pun 'mengorbankan' istri dan anaknya.

"Saya kan tanggung jawab. Karena saya udah direkrut sama pemda. Saya tanggung jawab kerjaan," kata Sudarno.

Tugas Sudarno tak semudah dibayangkan. Dia harus cepat tanggap dan bereaksi. Misalnya saat banjir sudah memasuki gedung panel Stasiun Pompa Pengadegan, ia langsung mengontak Lurah Pengadegan, Azhari dan meminta agar listrik sementara dimatikan. Katanya, agar panel listrik pompa tidak mati terkena air yang mulai menggenang.

"Minta sama Pak Lurah, Pak Camat, minta listrik dimatiin di PLN. Supaya kalau posisi air sampai sini, ke panel listrik, semua kena. Kan bahaya itu. Saya minta. langsung tutup," katanya.

Sudarno sendiri sudah memantau ketinggian dan pergerakan air di beberapa sungai sejak Selasa (31/12/2019) atau sehari sebelum merendam wilayah Pengadegan. Ia memantau ketinggian sungai lewat salah satu aplikasi yang dikelola BPBD setempat.

Mulanya, Sudarno mengira hujan pada Selasa sore itu tak bakal mengakibatkan banjir di Pengadegan. Pikirnya, itu hanya hujan lokal biasa. Namun matanya tetap waspada dengan terus memantau ketinggian air di Katulampa dan Depok.

Namun, perkiraan Sudarno berubah saat ketinggian air sungai di Depok dan Katulampa mulai naik. Ia memastikan, banjir akan menerjang kawasan Pengadegan. Mengingat aliran air dari sana hanya beberapa jam tiba di Jakarta.

"Posisi air tinggi di Katulampa udah 150 (cm), Depok 420 (cm). Pasti kerendem. Udah," ujarnya.

[Gambas:Video CNN]
Jangan Buang Sampah Sembarangan

Saat CNNIndonesia.com menemui Sudarno, Sabtu (4/1), banjir di Pengadegan sudah memasuki hari keempat. Air saat itu belum surut. Masih sekitar 30-90 sentimeter atau setinggi pinggang orang dewasa.

Ketika itu Sudarno hanya mengenakan kaos biru lengan panjang. Kaos satu-satunya yang terus ia kenakan selama empat hari air menggenang di Pengadegan. Maklum, rumahnya juga terendam banjir.

"Saya selametin kaos ini aja pas banjir," imbuhnya.

Selama empat hari itu, ia terus mengoperasikan pompa air dan berharap air cepat surut. Bersama beberapa petugas lain, Sudarno masih membersihkan sampah yang menyumbat tiga saringan penyedot air.

Belajar dari peristiwa banjir kali ini, Sudarno berharap warga tak lagi membuah sampah sembarangan. Sebab sampah-sampah yang dibuang ke sungai akan menimbulkan dampak yang sangat berbahaya.

"Udah dihimbau jangan buang sampah ke saluran. Sekecil apapun. Apapun bentuknya," katanya.

"Kalau baling-balingnya sampai mandeg, kan pompa nggak bisa operasi. Itu aja himbauan ke masyarakat. Jangan buang sampah ke saluran. Fatal akibatnya itu," ujar Sudarno.

Sudarno pun lanjut bertugas. Selama banjir menerjang dan turut menjadi korban, dia tinggal di sini, bukan di pengungsian.

Hanya istrinya saja yang tinggal di posko pengungsian bersama anak semata wayangnya, Nadira. Itu pun Nadira pada siang hari kerja di Cililitan, Jakarta Timur. Baru selepas kerja dia akan menemani ibunya di pengungsian. (thr/osc)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/2QoTZhR
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Cerita Operator Pengendali Banjir Rela 'Korbankan' Istri-Anak"

Post a Comment

Powered by Blogger.