Search

Polemik Izin Geledah dari Dewas, Era Baru KPK Rasa Birokrat

Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, 9 Januari lalu. Penangkapan berkaitan dugaan suap politikus PDIP Harun Masiku sebagai anggota DPR 2019-2024. Harun dalam status buron hingga saat ini.

Sejumlah nama petinggi PDIP pun ikut terseret, salah satunya Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristianto. Mulanya KPK turut mendatangi Kantor PDIP. Namun demikian di sana KPK hanya sebatas memasang garis (line) KPK di sekitar gedung.

Jika merujuk ketentuan lama, KPK mestinya dapat langsung menggeledah sejumlah tempat untuk mencari barang bukti. Namun usai keberadaan UU KPK baru-- UU Nomor 19 Tahun 2019, izin penggeledahan kali ini mesti mendapat persetujuan dari dewan pengawas (merujuk ketentuan Pasal 47 UU KPK).


Ketentuan soal dewas ini yang berimbas pada proses penggeledahan perkara Wahyu. Meski ditangkap sejak pekan lalu, penggeledahan baru dilakukan pada 13 Januari 2020 di kantor KPU. Penyidik KPK sebelumnya juga gagal saat akan menggeledah kantor DPP PDIP. Mereka disebut belum mengantongi izin dewas. Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril mengatakan keberadaan izin dewas yang diatur dalam UU KPK baru memperlambat kinerja KPK. Penyidik tak bisa langsung menggeledah maupun menyita sejumlah barang yang dapat menjadi barang bukti dugaan suap yang dilakukan.

Padahal untuk memperoleh izin dari dewas, kata Oce, penyidik masih harus melalui proses gelar perkara. Hal itu membuat alur penyidikan semakin panjang dan berbelit.

"Sehingga muncul persoalan seperti kemarin. Sudah ditangkap tapi izin geledah belum, ada yang harus digeledah tapi prosesnya berbelit," ujar Oce kepada CNNIndonesia.com, Selasa (14/1).

Kerumitan ini, menurutnya, bisa terjadi dalam proses di internal KPK maupun pengajuan izin ke dewas. Oce khawatir hal ini menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi ke depan. Ia memprediksi kondisi serupa akan terjadi pada kasus-kasus korupsi berisiko tinggi yang melibatkan tokoh politik 'besar' lainnya.

"Dugaan saya permainan seperti ini akan banyak terjadi," katanya.

Menurut Oce, satu-satunya solusi yang dapat ditempuh saat ini adalah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) KPK oleh Jokowi. Melalui Perppu tersebut, pemerintah dapat memperbaiki berbagai aturan yang menghalangi kinerja KPK.

"Idealnya dikembalikan ke model yang lama, yang paling efektif dengan Perppu Presiden," ucapnya.

Senada, ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, ketentuan yang mengharuskan izin dewas dalam penggeledahan semakin memperlambat kinerja KPK. Menurutnya, kegagalan KPK menggeledah dan menyegel kantor PDIP merupakan dampak nyata dari sistem yang justru melemahkan KPK.

"Terjadi birokrasi panjang yang justru membuka ruang melemahkan pemberantasan korupsi. Akibatnya kerja KPK melambat dan seharusnya hal ini tidak pernah terjadi," ucap Fickar.

[Gambas:Video CNN]
Menurut Fickar, penggeledahan yang tertunda berpotensi menghilangkan barang bukti terkait perkara. Aturan itu dinilai Fickar juga akan mengganggu nama baik anggota dewas yang selama ini diklaim memiliki rekam jejak cukup baik.

"Ya, melalui perppu harus dihapuskan ketentuan tentang izin dewas," katanya.

Secara terpisah, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean telah menegaskan pihaknya tak pernah menghambat KPK, apalagi melalui izin terhadap penggeledahan hingga penyadapan. Ketua Dewan Pengawas, Tumpak Hatorangan Panggabean menegaskan penerbitan izin diproses dalam waktu 1x24 jam.

"Enggak usah khawatir. Omong kosong orang bilang dewas itu memperlama-lama (kerja KPK). Enggak ada itu, enggak ada. Contohnya (penggeledahan) di KPU cuma beberapa jam saja," kata Tumpak di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi, Jakarta, Selasa (14/1).

(psp/ain)

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/3a3VQAm
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Polemik Izin Geledah dari Dewas, Era Baru KPK Rasa Birokrat"

Post a Comment

Powered by Blogger.