Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Minggu (1/3) mengungkap ada pengawasan terhadap ratusan orang terkait covid-19. Sehari setelahnya, pada Senin (2/3) pagi, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengumumkan ada dua warga Depok yang jadi pasien positif corona.
Pengumuman yang disampaikan Jokowi pada Senin pagi itu pun berbuah kepanikan. Berdasarkan liputan CNNIndonesia.com, terjadi pembelian sporadis masker, cairan desinfektan, hingga bahan kebutuhan pokok di sejumlah wilayah Indonesia terutama DKI Jakarta dan sekitarnya.
Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah, mengatakan kepanikan di tingkat masyarakat itu tak lepas dari ketidakjelasan pemerintah Indonesia dalam menanggapi wabah virus corona. Padahal, dalam dua bulan terakhir, setidaknya negara-negara di seluruh dunia melahirkan kebijakan masing-masing yang bisa dikatakan tegas terkait risiko wabah corona.
"Masyarakat panik membeli kemudian kedua nilai tukar Rupiah anjlok, banyak pengusaha yang rugi juga, perhotelan dan pariwisata, pemerintah rugi. Ini dampaknya panjang jadinya," ujar Trubus menjelaskan dampak dari ketidakjelasan itu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (3/3).
Kendati demikian, Trubus mengatakan masih ada waktu pemerintah untuk melakukan konsolidasi. Dalam konsep kebijakan publik, pemerintah bisa saja berdialog dan kembali menyatukan informasi menjadi sebuah kesatuan."Semua harus disatukan supaya social trust naik menjadi public trust dan tidak menimbulkan panic trust," kata dosen di Universitas Trisakti tersebut.
Senada Trubus, pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi menyatakan perlu ada langkah konkret dari pemerintah agar masyarakat percaya sepenuhnya terkait pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus corona di Indonesia.
Ia mengimbau pemerintah tidak hanya untuk membeberkan jumlah pasien saja, melainkan memastikan langkah konkret pencegahan dan pengobatan risiko wabah virus corona. Contohnya, Yogi menyarankan pemerintah mengeluarkan satu protokol yang jelas dan satu komando untuk menangani risiko penyebaran virus Corona.
"Pemerintah harusnya bisa mengeluarkan protokol pencegahan terkait berbagai penyakit untuk diterapkan di lembaga dan masyarakat. Supaya apa? Supaya menghindari hoaks dan masyarakat tahu mana yang harus dipercaya," kata Yogi saat dihubungi, Selasa.
Dia mengatakan protokol tersebut harus bisa diterapkan di lingkungan pemerintahan hingga direkomendasikan ke badan swasta. Kemudian, menyontek dari negara lain, pemerintah bisa memberikan masker gratis kepada masyarakat.
"Karena teknik pencegahan itu bermacam-macam, seperti perusahaan swasta banyak yang membagikan masker, hand sanitizer. Dan, itu menurut saya bagus, setidaknya bisa menambah public trust," kata pengajar di jurusan Administrasi Publik Fisip Unpad itu.
Yogi menegaskan apapun yang dilakukan pemerintah sebenarnya ialah sebuah kebijakan. Baik diam atau bergeraknya pemerintah dalam menyikapi sesuatu itu tetap diyakini penuh dengan pertimbangan.
"Seperti kita ketahui dalam kebijakan publik kita kenal whatever government to do or not to do is a public policy," kata Yogi. "Diam melakukan kebijakan dalam artinya formalistik norma dia sudah bekerja ada yang silent ada yang dirilis asal jangan menimbulkan kepanikan."
Pengunjung membeli masker di pertokoan kawasan Glodok, Jakarta, sebagai salah satu upaya antisipasi risiko virus corona, 28 Januari 2020. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
Sebelumnya, sejak terbuka informasi mengenai kejadian wabah virus corona di China pada Desember tahun lalu, pemerintah Indonesia memastikan tak ada infeksi Covid-19 di negara ini.
Namun, klaim dari pemerintah RI itu justru menimbulkan ketidakpercayaan termasuk dunia. Misalnya, peneliti Harvard yang mengungkap dugaan penyebaran virus corona ke dunia lewat model yang ia buat. Badan Kesehatan Dunia (WHO) pun skeptis. Selain itu, Perdana Menteri Australia Scott Morisson juga mempertanyakan kenihilan infeksi virus corona di Indonesia pada akhir bulan lalu. Padahal, negara-negara tetangga Indonesia sudah melaporkan ada kasus positif corona.
Dan, nihil kasus corona di Indonesia itu pun berakhir pada awal pekan ini. Presiden Jokowi mengabarkan ada dua pasien yang merupakan warga Depok telah dipastikan positif corona.
Pernyataan Jokowi yang ditemani Menkes Terawan itu disampaikan sehari setelah Gubernur DKI Anies Baswedan terang-terangan mengungkapkan sedang mengawasi dan memantau ratusan orang terkait virus corona. Pada Minggu lalu, Anies mengatakan Sedikitnya 115 orang dalam pemantauan dan 32 orang pasien yang masuk dalam kategori pengawasan. Publik pun melihat Anies membuka informasi terkait corona lebih cepat dari pemerintah pusat.
Belakangan, pada Selasa, Sekretaris Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Achmad Yurianto, mengaku heran informasi mengenai virus corona tidak berjalan satu arah. Padahal, kata dia, surat edaran berisi informasi penanganan virus tersebut sudah disebarkan ke seluruh pemerintah daerah.
"Koordinasi dengan daerah, beberapa kali surat edaran sudah dibuat oleh Menkes [Terawan], dirjen. Manualnya pun bahkan sudah kami buat. Kami bertanya pada teman di daerah, apa sudah menerima surat edaran, sudah. Apa sudah memahami, sudah. Tapi kok responsnya begini," kata Yurianto saat ditanya wartawan mengenai informasi yang tidak padu antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
Yurianto sendiri telah ditunjuk menjadi juru bicara resmi pemerintah RI terkait penanganan virus corona.
|
Menyikapi apa yang telah terjadi itu, Trubus menilai itu adalah indikasi komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah yang tak sinkron. Keduanya, kata Trubus, terlihat masih jalan sendiri untuk menangani kasus Corona.
"Dari sisi kebijakannya keduanya ini mencerminkan komunikasi yang tidak baik antara Balaikota dan Istana pemerintah pusat dan daerah, ini rentetan panjang revitaliasiasi Monas sampai ke Virus Corona. Dii situ mengindikasikan memang tidak baik komunikasinya," ujar Trubus.
Kurangnya komunikasi ini, imbuh Trubus, bisa berdampak pada tidak efektifnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah. Tak hanya ke pemerintah pusat, antar sesama kementerian pun disebut Trubus terkadang masih memiliki informasi yang berbeda.
"Seperti dari Kementerian Perhubungan yang meminta memakai masker, tapi dari Menkes bilang enggak usah. Ini kan masyarakat yang dibingungkan jadinya mereka saja tidak satu suara," ujar dia.
"Terbukti dari bagaimana cara memahaminya di mana Pak Anies dengan cepat merespons yang di-suspect [lewat Instruksi Gubernur DKI nomor 16 tahun 2020]. Publik menangkap melihat pemerintah berjalan sendiri," imbuhnya.
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Dadang Rahmat Hidayat menyatakan ada gaya yang berbeda dilakukan Anies selaku Gubernur DKI dan Jokowi sebagai Presiden RI. Tapi, Menurutnya pemerintah di semua lini dinilainya sudah cukup terbuka dengan pertimbangan kehati-hatian."Kasus Corona ini penuh dengan kehati-hatian, di satu sisi harus terbuka dalam arti jangan publik tidak dapat informasi yang benar dan tepat. Kalau terburu-buru dan salah ini bisa menimbulkan kesalahan tidak bisa dimaafkan," katanya.
"Saya melihat dari sisi ini wait and see adalah langkah yang diambil pemerintah pusat maupun daerah," sambung mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) itu.
[Gambas:Video CNN]
Dadang menyatakan selain masalah informasi pasien yang terduga maupun yang positif, masih ada informasi yang lebih penting yang dibutuhkan masyarakat. Ia menegaskan pemerintah baik pusat maupun daerah bertanggungjawab untuk menyebarkan informasi mitigasi atau usaha pemerintah dengan keadaan terburuk.
"Masyarakat itu sebenarnya ingin lebih diyakinkan bukan ada atau tidak ada. Tapi Apa yang sudah disiapkan pemerintah atau mitigasi terhadap kejadian ini bagaimana. Mungkin masyarakat lebih membutuhkan informasi itu," katanya.
(ctr/kid)from CNN Indonesia | Berita Terkini Nasional https://ift.tt/2TzAN1l
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Antara Jokowi, Anies, dan Kepanikan Publik soal Wabah Corona"
Post a Comment