Penyebaran corona sudah mencapai tingkat sangat mengerikan karena kenaikan luar biasa sejak diumumkan Badan Kesehatan Dunia WHO sebagai wabah akhir Januari lalu dan kemudian sebagai pandemi pada 11 Maret lalu.
Jumlah korban di seluruh dunia menurut hitungan Worldometers.info hingga Jumat (13/03) mencapai 5116 jiwa, dengan pasien terinfeksi mencapai 39 ribu.
Indonesia, sebenarnya hanya mencatatkan jumlah korban yang bisa dibilang sangat rendah dibanding total populasi. Dari 69 kasus positif, tiga meninggal dunia sesuai catatan Kementerian Kesehatan pada Jumat (13/3).
Dibandingkan dengan Inggris misalnya, yang populasinya hampir 65 juta, kasus positifnya sudah 609, hampir 10 kali jumlah kasus positif Indonesia. Bahkan Belgia yang warganya hanya 11,4 juta, jumlah kasus positifnya sudah tercatat 556 kasus.
Di Asia, negara tetangga terdekat seperti Singapura, punya 200 kasus. Malaysia, 158 kasus. Tapi justru karena angka kasus positif Indonesia yang rendah ini lah sumber keresahan banyak orang dalam dalam beberapa pekan terakhir.
Mengapa angka kasus Indonesia sangat rendah? Apakah karena memang penularan yang sangat sedikit atau, ini dia yang jadi pertanyaan sejati, karena angka deteksi yang sangat rendah?
Deteksi adalah satu-satunya cara untuk mengetahui apakah seseorang terinfeksi corona. Deteksi terbatas akan menghasilkan, tentu saja, angka yang terbatas. Jadi kenapa Indonesia tak melakukan deteksi yang lebih meluas?
Lagi-lagi, ini jadi pertanyaan banyak orang. Jawabannya mungkin macam-macam. Tapi salah satunya, banyak diduga karena keterbatasan alat.
Sejak Februari, dari media publik tahu semua pengetesan dilakukan terpusat di Laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan milik pemerintah, di Jakarta. Satu lab untuk sekian ratus juta jiwa.
Juru bicara isu corona Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan publik tak usah meragukan kemampuan kapasitas tes Balitbangkes. Sehari, deteksi corona bisa dilakukan untuk 1700 sampel. Juga, dua lab biomolekuler terbesar di Indonesia, masing-masing milik Lembaga Biomolekuler Eijkman dan Universitas Airlangga di Surabaya, kembali dirangkul sebagi lab mitra.
Rencana lain adalah mengoperasikan Balai/Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BTKLPP) yang di seluruh Indonesia berjumlah 10.
Tiap unit BPTKL, menurut Yurianto, akan dilengkapi dengan BSL cabinet yang meski tak selengkap laboratorium besar tetapi bisa dioperasikan mendeteksi dugaan infeksi virus covid-19.
Pfiuh, kabar baik. Yang belum terang adalah bagaimana tempat-tempat ini bisa diakses publik? Informasi yang berseliweran di dunia maya menyebutkan beberapa versi cerita pengalaman masyarakat mencoba mendapat fasilitas deteksi corona di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah. Ada yang mengatakan ditolak karena tak dianggap cukup punya faktor risiko.
Ada juga yang bercerita sudah sukses dideteksi meskipun harus membayar hingga hampir dari Rp700 ribu. Ada pula yang takut tak kuat membayar sehingga memilih berhenti cari tahu meski sebenarnya merasa perlu memeriksakan diri.
Korea Selatan dipaksa berpikir keras menemukan solusi tercepat dari munculnya ledakan kasus baru.
Ini setelah seorang perempuan diduga jadi sumber penyebaran virus corona di tengah pusat kegiatan sekte keagamaan yang diikutinya di kota Deagu, dekat Seoul. Dari puluhan dalam sepekan deteksi positif corona naik jadi 900 kasus Februari lalu.
Bagaimana memastikan berapa jumlah kasus yang benar dan membatasi penyebaran sekaligus melacak siapa saja yang mungkin terinfeksi dari lingkaran Daegu ini? Yang membuat dunia terperangah adalah ide lokal untuk membuat sistem drive-through alias layanan tanpa musti turun dari mobil mirip cara restoran fast food melayani pelanggan.
Maka dibangun fasilitas saat mobil masuk kawasan deteksi berisi orang yang perlu memeriksakan diri. Langsung disambut petugas medis yang sudah berbusana hazmat agar kebal virus, memberikan layanan dari jendela mobil yang dibuka.
Form tertulis diisi, suhu tubuh diukur, bagian dalam hidung diusap untuk diambil cairannya (swab) kemudian tanya jawab singkat dan sekitar 10 menit kemudian, selesai.
Wartawan CNN Ivan Watson melukiskan "it's deeply uncomfortable, really deep down the nose...", tapi semuanya berjalan singkat saja dan hasil tes bisa didapat dalam 2-3 hari.
Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian
|
Dengan ide jenius ini, Korsel berhasil menjaring hampir 8000 kasus hingga pekan kedua Maret. Di seluruh penjuru negeri terdapat lebih dari 500 poin deteksi, dan sudah ada hampir 200 ribu kali deteksi dilakukan sejak wabah muncul.
Hasilnya kurva pertumbuhan pasien baru positif corona cenderung melandai bahkan lurus, menunjukkan pertumbuhan pasien baru jauh berkurang ketimbang sebelumnya.
Singapura berupaya keras melakukan hal yang sama. Deteksi cepat dilakukan dengan memperkenalkan teknologi deteksi baru awal Maret, yang mampu menentukan hasil dalam tiga jam.
Dengan teknologi ini di tiap titik masuk negara singa itu kini lebih mudah dan cepat dilakukan deteksi dini corona. Ditambah penelusuran terhadap tiap kasus baru yang dilakukan sangat rinci dan ketat, hasilnya pertumbuhan kasus baru relatif terkendali saat sumber terbesarnya adalah kasus pendatang (imported case).
Bisakah Indonesia mengikuti jejak Korsel dan Singapura demi menghindari ledakan kasus baru yang tak terbayangkan?
Dua negara di atas berhasil menurunkan angka kasus baru dengan deteksi yang agresif. Masuk akal karena bagaimana membatasi penyebaran virus kalau tak tahu di mana saja lokasinya dan siapa saja yang sudah terinfeksi?
Deteksi terbatas tentu akan menunjukkan hasil terbatas dan sebaliknya.
India yang baru mengumumkan Situasi Darurat Corona nasional memerintahkan agar perusahaan asuransi memasukkan tes corona sebagai bagian dari klaim yang ditanggung. Dengan cara ini, diharapkan tak ada orang yang perlu tes tapi memilih mangkir karena tak mampu membayar dan justru jadi ancaman buat orang-orang sekelilingnya.
Indonesia bisa meniru rupa-rupa strategi ini. Pusat deteksi terbatas seperti yang sekarang ada jelas akan sangat mengganggu upaya identifikasi penyebaran corona. Terobosan model drive-through mungkin patut dipertimbangkan mengingat prosedurnya yang ringkas dan masal.
Pembiayaan dengan skema BPJS mungkin tak mudah dilakukan, mengingat biaya tes yang tak murah, tetapi subsidi ongkos deteksi akan memungkinkan lebih banyak orang diperiksa.
Pertanyaan selanjutnya: apakah kita punya tenaga, ahli medis, alat dan materi deteksi yang cukup untuk jutaan rakyat Indonesia yang kini berada di episentrum penularan corona?
Kalau tak ada, dari mana tenaga, alat atau perlengkapan ini bisa dicari?
Sulit juga menjawabnya. Kemungkinan besar akan melibatkan pembiayaan yang tidak murah pula. Hanya saja sekali lagi, tanpa deteksi memadai kita berisiko menghadapi situasi terburuk akibat pandemi.
Penting diingat nasihat Dirjen WHO Dr Adhanom Ghebreyesus. Peluang mengatur strategi pencegahan tidak banyak. Kalau sudah jadi pandemi nasional, mungkin deteksi masal pun tak banyak gunanya lagi. Iran dan Italia mengalami situasi mengerikan ini, sampai saat ini.
Jadi berapapun biayanya, bagaimana pun caranya, Indonesia-yang dipimpin Jokowi, perlu memilih: deteksi atau pandemi corona? (asa)
from CNN Indonesia | Berita Terkini Nasional https://ift.tt/38RZZpk
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pak Jokowi, Pilih Deteksi atau Pandemi Corona?"
Post a Comment