"Kami ditargetkan menyemprot (gulma) di 200 batang sawit per satu orang," kata Siti, pada Sabtu (4/4).
Hingga hari ini, dia tetap melakoni pekerjaannya di tengah wabah corona. Berangkat jam 07.00 pagi dari rumahnya di Desa Kebur Jaya, dan pulang jam 3 sore. Apalagi, dia jadi tulang punggung keluarga setelah suaminya diputuskan kontrak kerjanya pada akhir 2019. Perusahaan, kata Siti, tak pernah menginformasikan apa pun tentang corona.
"Saya tahu saat tengok televisi. Ada kekhawatiran saat kita bekerja nanti kena," katanya.
Awal Maret lalu pula, Presiden Jokowi mengumumkan dua warga yang terinfeksi corona.
Pengumuman itu seolah mengakhiri perdebatan soal penyakit yang dinilai tak bakal menyerang Indonesia. Dalam sebulan, data pemerintah menunjukkan jumlah kasus positif corona menembus 2.000 orang lebih-dari mulanya cuma dua orang.
Pemerintah pun meminta warga untuk berkegiatan di rumah. Bekerja, belajar hingga beribadah. Tujuannya, mengurangi risiko penularan antarmanusia. "Dengan kondisi ini, saatnya kita bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah," kata Jokowi dalam jumpa pers pertengahan Maret lalu.
Sumatera Selatan sendiri tercatat memiliki 12 kasus positif corona, dengan satu orang sembuh dan dua orang meninggal. Hingga awal April, provinsi itu mencatat ada 1.307 Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan 36 Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Tapi, pengumuman Jokowi macam tak mempan bagi Siti di Musi Rawas.
Dia tetap menggendong tabung berisi herbisida di punggungnya dan bolak-balik menyemprot tanaman pengganggu sawit. Bersama 14 rekan kerja lainnya, Siti tetap bekerja di perkebunan tanpa ada informasi apa pun dari perusahaan soal corona dan antisipasinya.
"Enggak pernah perusahaan ngomong corona corona," kata dia.
![]() |
Wabah Ancam Nelayan
Lain di darat, lain di laut.
Muhammad Tahir, nelayan asal Cilincing di Jakarta Utara pun tetap menyiapkan kapalnya. Dia tahu corona pertama kali ketika menonton televisi pada Maret lalu. Pria itu bersama nelayan kecil lainnya tetap mengarungi laut untuk menangkap ikan, cumi atau udang.
"Wabah ini mengancam," kata dia pekan lalu. "Tapi mau enggak mau, tetap berangkat ke laut."
Masalahnya, wabah corona itu berpengaruh besar bagi para nelayan. Hasil tangkapan mereka tak laku di pasar ikan karena orang bisa jadi lebih memilih di rumah. Ini membuat para nelayan tak bekerja maksimal menangkap ikan.
"Biasanya sehari bisa sampai 50 kilogram, tapi sekarang 25 kilogram saja sudah pulang," ujar Tahir.
Jakarta memang jadi episentrum terbesar corona.
Hingga awal April, ada 1.038 kasus positif corona dengan 56 orang sembuh dan 89 orang meninggal dunia. Himbauan Jokowi untuk berada di rumah, bisa jadi sulit diterapkan oleh Tahir dan nelayan pesisir Jakarta.
Jokowi pun menyiapkan dana ekstra Rp405 triliun.
Ada alokasi untuk insentif perlindungan sosial senilai Rp110 triliun, di antaranya berisi untuk dukungan logistik sembako serta kebutuhan pokok.
Melalui Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Uang Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona, Jokowi menyatakan perlu langkah luar biasa di bidang keuangan negara melawan wabah tersebut.
"Dengan fokus belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan ekonomi termasuk dunia usaha serta masyarakat yang terdampak," demikian Jokowi dalam aturan tersebut.
Masalahnya, orang miskin macam Siti di Musi Rawas hingga Tahir di pesisir Jakarta, bisa jadi tak terdata dengan baik.
Kementerian Tenaga Kerja pada 2016 menyebutkan ada sedikitnya 10 juta pekerja di sektor sawit dan diperkirakan 7 juta di antaranya adalah buruh harian. Sementara itu, data resmi juga menunjukkan minimal ada 2,2 juta nelayan yang tersebar di Indonesia.
"Buruh sawit harian mayoritas perempuan," kata Direktur Sawit Watch Inda Fatinaware. "Paling rentan terpapar corona."
"Dua dampak yang ditanggung nelayan," kata Susan Herawati, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara). "Tertular covid-19 dengan cepat dan lumpuhnya kehidupan ekonomi."
Sawit Watch menemukan sarana kesehatan di wilayah perkebunan yang relatif minim dapat berakibat buruh sawit rentan terinfeksi corona. Sementara itu, data Kiara menunjukkan sedikitnya 12 ribu desa pesisir harus memperoleh perhatian khusus karena dampak wabah tersebut.
Langkah pemerintah memang berkejaran dengan waktu.
Megadana Bantuan Sosial
Kementerian Sosial, misalnya, menambah jumlah Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk melawan corona. Khusus sembako, jumlah KPM naik menjadi 20 juta keluarga dari sebelumnya 15,2 juta keluarga.
Sementara untuk indeks bantuan bulanan pun meningkat dari Rp150 ribu per keluarga menjadi Rp200 ribu per keluarga.
Bantuan komponen Program Keluarga Harapan (PKH) pun naik. Ini terdiri dari ibu hamil dan anak usia dini yang masing-masing sebelumnya adalah Rp2,4 juta menjadi Rp3 juta per tahun.
"Jaring pengaman sosial diharapkan jadi bantalan bagi masyarakat sosial ekonomi terendah agar tak terpuruk lagi," demikian keterangan Kementerian Sosial.
Dana kelolaan Kementerian Sosial memang terbilang besar.
Lembaga itu mengelola Rp58 triliun-dari total anggaran Rp62,7 triliun untuk bantuan sosial semata pada 2020. Ditambah dengan Perppu Corona, lembaga itu akan menerima dana ekstra Rp110 triliun untuk insentif perlindungan sosial bagi warga yang terkena dampak pagebluk.
Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya menilai data terkait dengan orang miskin dan bantuan sosial relatif bermasalah. Dalam keterangan resminya Februari lalu, lembaga itu meminta Kementerian Sosial harus memperbaiki data orang miskin sebelum diberikan manfaat.
Data pemerintah menunjukkan sedikitnya ada 25 juta jiwa yang dikategorikan miskin. Pemberian dana bantuan sosial yang tak tepat, demikian KPK, menjadi salah satu bentuk kebocoran uang negara. Terkait dengan hal itu, Menteri Sosial Juliari Batubara pun meminta bantuan lembaga antirasuah tersebut untuk membantunya dalam pengawasan.
"Kami berharap KPK dapat membantu pengawasan agar rakyat kecil bisa merasakan manfaatnya," ujar Juliari.
Namun ini tak hanya soal data. Ada pula isu korupsi politik.
Kajian KPK pada 2014, misalnya mengungkap relasi dana bantuan sosial dan hibah yang meroket menjelang Pilkada.
Pada 2011-2012, lembaga itu mengungkap ada lonjakan lima kali lipat dana bantuan sosial satu daerah serta empat kali lipat sepanjang 2012-2013 di tempat lain. Jika Pilkada serentak diundur pada 2021, maka kekhawatiran KPK 6 tahun lalu pantas dilonjakkan kembali.
"Ingat ancaman hukuman mati, koruptor anggaran bencana dan proses pengadaan darurat bencana," kata Ketua KPK Firli Bahuri, akhir Maret.
![]() |
Terlepas dari persoalan itu, masalah lain tetap mengadang orang macam Siti maupun Tahir.
"Kemiskinan akan meningkat drastis," kata Ah Maftuchan, Direktur Prakarsa, organisasi yang meneliti soal kemiskinan dan perlindungan sosial, Minggu (5/4). "Harus ada bantuan tak bersyarat. Misalnya bantuan tunai corona."
Dia menilai derma yang disiapkan pemerintahan Jokowi untuk dampak corona macam PKH, diberatkan dengan banyak syarat. Di antaranya terdaftar pada fasilitas kesehatan dan pendidikan terdekat. Walaupun demikian, kata Maftuchan, rekonsolidasi data tetap harus dilakukan demi bantuan yang tepat sasaran, di antaranya memakai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.
Di sisi lain, organisasi itu mendesak terobosan pemerintah soal paket bantuan tunai tanpa syarat sesegera mungkin. Maftuchan menyatakan bantuan itu akan berpengaruh besar bagi buruh, nelayan atau pekerja informal lainnya menghadapi corona. "Pemerintah memiliki momentum dan landasan moral politik melakukannya," tegasnya.
Perdebatan hingga eksekusi bantuan sosial di lapangan bisa saja memakan banyak waktu.
Di Desa Kebur Jaya, Siti tetap memasang jilbab dan sepatu bot saban pagi. Tahir pun setia menuju kapalnya usai subuh di hamparan pesisir. Keduanya sadar ancaman mematikan corona, namun seolah tiada pilihan selain memasuki gelanggang pertarungannya sendiri. (asa)
from CNN Indonesia | Berita Terkini Nasional https://ift.tt/2URbUQB
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
ReplyDeleteayo daftar di agen365*com :D
WA : +85587781483