Search

Kontroversi Omnibus Law dan Penundaan Klaster Tenaga Kerja

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketu DPR Puan Maharani sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker). Penundaan dilakukan untuk memberikan ruang pemerintah dan DPR mendalami substansi pasal-pasal yang berkaitan dengan masalah tenaga kerja hingga tengah fokus mengatasi pandemi virus corona.

"Hal ini juga untuk memberikan kesempatan kepada kami untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan," kata Jokowi melalui keterangan tertulis, Jumat (24/4).

"Saya ingin menyampaikan bahwa terkait dengan pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja untuk klaster ketenagakerjaan, kami meminta kepada Baleg DPR untuk menunda pembahasannya," ujar Puan sehari sebelum Jokowi mengeluarkan pernyataan.


Keputusan Jokowi dan permintaan Puan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR itu keluar setelah masalah ketenagakerjaan di dalam RUU Ciptaker itu ditentang sejumlah fraksi di DPR dan beberapa elemen buruh yang mengancam akan melakukan demonstrasi besar-besar pada 30 April. Misalnya, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi NasDem Willy Aditya menyarankan agar pemerintah menangguhkan pembahasan klaster ketenagakerjaan jika ingin target 100 hari pembahasan RUU Ciptaker, sesuai dengan keinginan Jokowi, tercapai.

Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi PDI-P Rieke Diah Pitaloka merekomendasikan klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Ciptaker. Menurutnya, penarikan klaster itu akan memperjelas bahwa RUU yang dinginkan pemerintah itu semata-mata untuk kemudahan investasi dan perizinan.

Pasal-pasal Kontroversial

Masalah ketenagakerjaan tertuang di Bab IV RUU Ciptaker. Isinya terkait perubahan beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sejumlah kelompok buruh pun menentang perubahan yang tertuang dalam RUU tersebut.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal misalnya menyorot kemudahan izin dalam merekrut tenaga kerja asing (TKA). Perubahan kententuan tersebut tertuang dalam Pasal 89 RUU Ciptaker.

Padahal dalam aturan saat ini pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

"Sekarang sudah tidak ada lagi kewajiban bagi pemberi kerja untuk memiliki izin tertulis untuk mempekerjakan TKA," kata Said.

Said juga mengkritik perubahan aturan terkait upah minimum. Ia mengatakan dalam draf RUU Ciptaker tak lagi diatur soal upah minimum kabupaten (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK). Penentuan upah minimum hanya berdasarkan upah minimum provinsi (UMP).

Selain itu, kata Said, formula perhitungan upah minimum juga menghapus indikator inflasi. Dalam RUU Ciptaker ini, perhitungan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi daerah setempat.

"Jadi, kalau ada kenaikan barang itu tidak dihitung lagi. Hanya melihat pertumbuhan ekonomi daerah, ini kan ada yang pertumbuhannya kecil atau bahkan minus," ujarnya.

Masalah pesangon juga dikritik kalangan buruh. Said menyatakan pesangon yang diterima pekerja jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berpotensi semakin kecil. Bahkan, hilang lantaran RUU Ciptaker membolehkan pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan dan tidak ada batasan waktu kontrak.

"Kalau dalam aturan sekarang ditotal bisa 32 kali upah, kalau sekarang total mungkin hanya 18 kali," ujarnya.

Masalah lain dalam RUU Ciptaker, kata Said, adalah keleluasan yang diberikan kepada pengusaha untuk menggunakan pekerja outsourcing di berbagai jabatan. Berbeda dengan aturan yang berlaku saat ini, di mana hanya ada lima pekerjaan yang boleh diisi outsourcing.

"Kalau sekarang outsourcing hanya lima jenis, petugas kebersihan, katering, pihak keamanan, supir, lalu pertambangan atau perminyakan. Nah, poin itu dihapus di Omnibus Law, artinya semua pekerjaan bisa menggunakan outsourcing," tuturnya.

Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan RUU Ciptaker lebih menguntungkan pengusaha ketimbang buruh. Menurutnya, terdapaat beberapa kebijakan yang menyejahterakan buruh diubah.

Ia menyebut salah satu poin yang merugikan adalah penghapusan cuti panjang bagi pekerja yang sudah menjadi karyawan lebih dari 6 tahun. Cuti panjang akan diberikan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Hal itu berbeda dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku saat ini, di mana pemberian cuti panjang menjadi salah satu poin dalam beleid tersebut. Minimal, buruh mendapatkan jatah cuti panjang 2 bulan jika sudah bekerja 7 tahun.

"Kalau sampai tidak ada itu merugikan. Buruh selama ini sudah hilang interaksi sosialnya. Jangan tenaga buruh mau dikuras," kata Nining.

Nining menyebut RUU Ciptaker juga akan menghapus aturan soal upah yang seharusnya diterima pekerja bila berhalangan tidak masuk kerja. Padahal, dalam aturan yang sekarang berlaku terdapat poin yang menyatakan pekerja yang berhalangan hadir dan tidak bisa bekerja tetap mendapatkan upah.

Menurutnya, RUU tersebut juga mengurangi jam kerja buruh menjadi paling lama 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu. Kalau mengacu pada aturan saat ini, waktu kerja buruh diatur dalam dua bentuk.

Pertama, 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam 1 minggu. Kedua, 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

Nining khawatir pengurangan jam kerja ini akan berpengaruh pada pendapatan dan kesejahteraan buruh ke depannya. Misalnya, perusahaan akan menghitung upah berdasarkan jam kerja yang lebih sedikit. Dengan demikian, pendapatan yang dikantongi buruh juga lebih rendah dari sebelumnya.

Sementara Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ellena Ekarehandy memprediksi gelombang PHK masal akan terjadi jika pemerintah dan DPR mengesahkan RUU Ciptaker.

Menurutnya, perusahaan bisa melakukan PHK dengan alasan efisiensi, merugi, keadaan memaksa. Kemudian, PHK dapat dilakukan bila perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, serta perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga.

Ellena menyebut RUU Cipta sebatas omong kosong Jokowi. Ia ingat betul Jokowi kerap menyatakan bahwa aturan yang dirancang pemerintah ini merupakan upaya agar Indonesia memiliki daya saing di bidang ekonomi menghadapi ekonomi digital.

Sindikasi kerap mendapat laporan dari pekerja ekonomi digital bahwa mereka menghadapi kondisi sangat rentan. Para pekerja di sektor ekonomi digital, kata dia, memiliki jam kerja yang sangat panjang dengan upah yang cenderung kecil.

"Kemustahilan untuk jadi pekerja tetap, yang seharusnya pemerintah punya respons yang inovatif untuk bisa merespons masa depan kerja ini, tapi yang ada mereka respons dengan ceroboh, konvensional," ujar dia. (mts/fra)

[Gambas:Video CNN]

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia | Berita Terkini Nasional https://ift.tt/35cKXtY
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kontroversi Omnibus Law dan Penundaan Klaster Tenaga Kerja"

Post a Comment

Powered by Blogger.