Search

Polisi Korban Bom Kuningan 15 Tahun 'Berteman' dengan Obat

LIPUTAN KHUSUS

mts, CNN Indonesia | Jumat, 27/12/2019 10:33 WIB

Bogor, CNN Indonesia -- "Kamu bawa obat-obat aku enggak?" tanya Ajun Inspektur Satu (Aiptu) Ram Mahdi Maulana, kepada istrinya di sela-sela perbincangan dengan CNNIndonesia.com di salah satu kafe di kawasan Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Rabu (11/12).

"Bawa kok," jawab sang istri, Yadhi Setiantari. Berbagai macam merek dan warna obat pun ia gelar di atas meja sambil memberi informasi khasiat dari masing-masing obat.

"Selama 15 tahun ini saya berteman dengan obat," ucap Ram.


'Kesetiaan' Ram dengan obat-obatan itu dimulai setelah ia menjadi salah satu korban teror bom mobil di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan, pada 9 September 2004 silam. Ram adalah salah satu dari empat orang polisi yang menjadi korban ledakan bom tersebut.

Total, teror bom yang meluluhlantakkan Kedubes Australia pada 15 tahun silam itu menelan korban sekitar 150 orang luka-luka dan sembilan orang meninggal dunia.

Ram kala itu berdinas di Direktorat Pengamanan Objek Vital (Dit Pam Obvit) Polda Metro Jaya dengan penugasan menjaga Kedubes Australia, khususnya Dubes Australia untuk Indonesia.

Jebolan bintara 1999 itu mengaku memulai hari dengan aktivitas koordinasi seperti biasa di Kedubes Australia pada 9 September 2004. 

Sekitar pukul 11.30 WIB, Ram tak tahu bagaimana, tiba-tiba ledakan terjadi. Badan dia terpental hingga menghantam pagar utama gedung diplomatik yang terbuat dari besi. Sempat hilang kesadaran sekejap, saat bangkit Ram langsung mencari jalan masuk ke dalam Kedubes untuk mengetahui keadaan Dubes Australia. 

Ketegangan situasi membuat Ram tidak terlalu merasakan sakit di tubuhnya walau sudah menghantam pagar besi. Apalagi secara fisik di permukaan, di sekujur tubuhnya tidak ditemukan luka terbuka akibat ledakan bom.

Bahkan, Ram masih beraktivitas terus hingga tiga hari pascateror. Ia terus mengawal Dubes Australia David Ritchie yang ketika itu mendapatkan kunjungan dari sejumlah pejabat, baik dari pemerintah Indonesia dan pemerintah Australia.

"Tiga hari itu ada kunjungan: Megawati Soekarnoputri [Presiden RI kala itu] ke sana, terus Susilo Bambang Yudhoyono, Kapolri [Jenderal Pol Da'i Bachtiar], kepala kepolisian Australia, Menteri Luar Negeri Australia, sampai Perdana Menteri Australia datang, karena saya ditugaskan di ring 1, saya masih tugas mendampingi Duta Besar. Saya pikir pada saat itu, rasa sakit itu cuma karena kelelahan saja, tidak terpikir kalau saya juga mengalami luka pada waktu itu," ucap Ram.

LIPSUS KORBAN TERORIS 5-Polisi Korban Bom KuninganMenlu Australia kala itu Alexander Downer (kanan) ditemani Dubes Australia saat itu, David Ritchie (kiri) meninjau lokasi teror bom mobil di depan Kedubes Australia, Jakarta, 10 September 2004.(AFP PHOTO/Bay ISMOYO)
Hari ketiga pascateror bom, Ram dipanggil Dubes Australia. Ram diminta pulang dulu menemui keluarga yang diduga khawatir karena belum mengetahui kondisi sang polisi tersebut.

"Akhirnya saya pulang, ketemu keluarga. Kakak saya yang sekarang sudah almarhum sempat mengadakan tahlilan karena saya enggak ada kabar," kata Ram. 

Setelah berada di rumah, Ram merasakan sakit kepala yang luar biasa hingga tak sadarkan diri. Dia lalu langsung dilarikan ke RSUD Bogor. Selama dua hari di RSUD Bogor, Ram tidak sadarkan diri. Ia pun dipindahkan ke Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang. Ia baru siuman di sana.

"Diagnosa dokter ketahuan ada patah rahang, gumpalan darah di kepala, saraf keseimbangan saya kena, akhirnya ya perawatan di sana karena terjadi penurunan fungsi. Saya waktu itu pegang gelas saja enggak bisa, dari [gangguan] saraf itu," tutur Ram.

LIPSUS KORBAN TERORIS 5-Polisi Korban Bom KuninganAiptu Ram Mahdi Maulana mengalami gangguan saraf akibat gumpalan darah di kepala pascateror bom Kuningan pada 2004. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Penyanggah Leher

Selain berteman dengan obat setelah 15 tahun pascakejadian, Ram juga terpaksa menjalankan aktivitas sehari-hari dengan menggunakan alat penyanggah leher untuk membatasi pergerakan dari kepalanya.

Alat bantu itu ia pakai setelah hasil pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dan magnetic resonance agniography (MRA) yang dijalaninya beberapa tahun silam menemukan penggumpalan darah di bagian otak kecil akibat benturan yang terjadi saat ledakan bom terjadi.

"Hasil MRI dan MRA itu ada penyumbatan di arteri dan vena di belakang kepala, di otak kecil. Itulah akhirnya sekarang mengalami sakit pusing tiba-tiba, hilang keseimbangan. Jadi yang dipakai di leher itu untuk kepala sebenarnya, penyangga supaya enggak terlalu berat dan geraknya," kata Ram.

[Gambas:Video CNN]

Dia mengatakan salah seorang dokter di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) pernah memintanya agar gumpalan darah di otak kecilnya dioperasi. Namun, lanjutnya, dokter ahli bedah saraf di RS Sentra Medika memintanya agar tidak melakukan operasi karena berisiko besar dan memiliki peluang keberhasilan yang kecil.

Akhirnya, Ram pun tidak melakukan operasi dan memilih mencoba memulihkan gumpalan darah di otak kecilnya tersebut dengan terapi obat.

Selain itu, Ram juga pernah divonis mengalami penurunan kualitas indra pendengaran. Ia menerangkan salah seorang dokter di rumah sakit yang pernah ia sambangi mengatakan telinga sebelah kanan Ram baru bisa mendengar kualitas suara yang berada di angka 90 desibel.

"Jadi kalau orang bisa mendengar suara, kalau saya yang sebelah kanan enggak dengar, 90 desibel itu baru bisa dengar. Kalau dokter bilang sama dengan klakson bis, baru bisa dengar yang kanan. Itu waktu itu ada tes audiometri, ternyata yang kanan 90 desibel, akhirnya sekarang masih terus berobat," tuturnya.

Trauma Psikis Muncul Pascaterbaring di Rumah Sakit

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

Let's block ads! (Why?)



from CNN Indonesia https://ift.tt/39jNJ2u
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Polisi Korban Bom Kuningan 15 Tahun 'Berteman' dengan Obat"

Post a Comment

Powered by Blogger.