Kala itu, terjadi tiga teror ledakan pada peristiwa yang dikenal dengan sebutan Bom Bali II. Selain di Cafe Menega, serangan teror juga terjadi di Nyoman Cafe Jimbaran dan R.AJA's restaurant and bar di Kuta.
Melihat kondisi fisik Ni Kadek ketika itu, sukar untuk menilai kalau dia merupakan korban bom Bali II. Secara fisik tak ada bekas luka yang tampak akibat bom saat dia bekerja sebagai pelayan di Menega Cafe pada 2005 lalu.Tapi, kepada CNNIndonesia.com, Kadek menggambarkan kembali titik di mana pipi dan paha sebelah kirinya 'hancur' akibat ledakan.
Sudah 14 tahun berselang sejak teror bom bali II, Ni Kadek mengatakan butuh waktu sangat lama untuk bisa pulih, baik dari luka fisik, maupun psikis. Bahkan ia menunjukkan gotri yang telah mengendap di ketiak sebelah kiri selama 14 tahun. Gotri itu baru diangkat lewat operasi yang dilakukan pada akhir Agustus 2019 lalu.
Foto rontgen yang menunjukkan pecahan Bom Bali II pada 2005 yang masih berada di tubuh Ni Kadek Ardani sebelum diangkat lewat operasi pada Agustus 2019. (Dok. Kadek Ardani)
|
I Made Mangku Pastika yang saat itu menjadi Kapolda Bali mengaku kaget ketika mendengar serangan bom bali II. Apalagi tragedi itu terjadi hanya tiga tahun berselang dari teror 2002 di Renon dan Legian, Bali.
Sebelumnya, saat teror ledakan 2002, Mangku Pastika yang kala itu masih menjabat Kapolda Papua, sempat ditunjuk menjadi Ketua Tim Investigasi Bom Bali.
"[Saat teror bom] 2005 itu saya lagi sembahyang di pura, dekat dengan Jimbaran. Terjadi lah itu [ledakan] di Jimbaran dan Kuta Square di Legian. Saya cepat sekali sampai, saya langsung ke situ [Kuta]," kata Mangku Pastika saat ditemui CNNIndonesia.com di Gedung DPD, Jakarta, Rabu (11/12).
Berkaca pada pengalaman saat Bom Bali I pada 2002 silam, Mangku Pastika segera melakukan koordinasi dengan semua lini. Hal yang pertama dia lakukan adalah menyalakan koordinasi layanan darurat (emergency service).
"Jadi pusat pelayanan kondisi darurat itu; satu polisi, dua pemadam kebakaran, ketiga ambulance, rumah sakit. Itu kuncinya di situ," kata pria yang kemudian terpilih menjadi Gubernur Bali selama dua periode tersebut (2008-2013 dan 2013-2018).
Made Mangkupastika. Anggota DPD RI periode 2019-2024, Kapolda Bali 2003-2005, gubernur Bali 2008-203, 2013-2018. (CNN Indonesia/Dika Dania Kardi)
|
Bagi Mangku Pastika, sebagai kapolda dirinya harus memastikan soal penegakan hukum, perlindungan korban, dan jaminan keamanan. Terlebih soal keamanan karena Bali hidup dari pariwisata.
"[Pasca] Dua-duanya [bom bali 2002 dan 2005], langsung sepi itu Kuta," kenang Mangku Pastika.
Mangku Pastika mengatakan setelah ditunjuk menjadi Kapolda Bali pada 2003 lalu, dirinya sudah berusaha untuk memulihkan kepercayaan pariwisata dari sisi jaminan keamanan pascateror Bom Bali I.
"Turis sudah hampir balik lagi [normal], saya bikin polisi pariwisata. Mereka pakai celana pendek kacamata hitam, topi koboi, pakai kaos. Persis turis gitu. Tapi dia bawa pistol, bawa HT [handie talkie]. Di mana-mana saya taruh polisi itu, suka patroli tapi pelan enggak pakai sirene," tuturnya.
Monumen Ground Zero, monumen peringatan Bom Bali I di Legian, Kuta, Bali. (CNN Indonesia/ Ryan Hadi Suhendra)
|
Pun, ia mengumpulkan pengusaha pariwisata di Bali untuk membuat standar keamanan dan keselamatan.
"Saya bersyukur cukup cepat pulihnya [industri wisata] ketika [pascateror bom] 2005. Sebenarnya turis itu ingin liat seberapa efektif respon kita aparat baik polisi, RS. Mereka ingin itu," kata Mangku Pastika yang kala itu Kapolda Bali.
Bangkitnya Industri Pariwisata BaliSoal lebih cepat pulihnya industri pariwisata Bali pascateror bom 2005 diamini akademisi Universitas Udayana, Nyoman Ariana. Dalam data yang dimilikinya, bila dibandingkan pascabom Bali I, pariwisata dikatakan lebih cepat pulih setelah teror kedua.
"Usai serangan bom Bali 2002, butuh waktu sembilan bulan bagi pariwisata untuk pulih. Sementara itu, usai serangan bom Bali II butuh waktu lebih cepat yakni enam bulan," kata Nyoman saat ditemui di kompleks Universitas Udayana, Rabu (4/12).
Nyoman menyimpulkan demikian merujuk pada jumlah kunjungan wisatawan asing kembali ke jumlah normal rata-rata bulanan yang lebih dari 100.000.
"Pada bulan Oktober ke November 2002 terjadi penurunan kunjungan dari semula 150 ribu pada September 2002 jadi 81.100 di bulan berikutnya. Kemudian, November turun lagi ke angka 31.497 wisman," kata Nyoman.
Pada Desember 2002, kata Nyoman, mulai terjadi peningkatan meski tak signifikan. Dan, kunjungan itu baru mulai normal di angka 100 ribu wisman per bulan mulai Juli 2003.
"2004 menandakan bahwa pariwisata ini bisa pulih, itu sampai 48,23 persen meningkat," katanya.
Sementara itu, usai kejadian Bom Bali II pada 2005, Nyoman mengatakan kunjungan turun tapi tak sedrastis pada 2002.
Data Nyoman menunjukkan pada Oktober 2005 angka wisman turun jadi 81.343 dari jumlah rataan normal lebih dari 100 ribu wisatawan. Tapi, pada April 2006 atau enam bulan pascabom Bali II, angka wisman sudah kembali di kisaran lebih dari 100 ribu per bulan.
"Pada saat itu Bom Bali I memang tidak ada crisis management guidance yang dimiliki oleh Bali. Apa yang musti dilakukan ketika titik tertentu waktu itu Bali mengalami krisis," ujar Nyoman.
Itulah yang kemudian membedakan upaya pemulihan industri pariwisata Bali antara pascaserangan bom 2002 dan 2005.
"Sudah ada dalam tanda kutip pengelola, komponen masyarakat Bali, stakeholder pariwisata Bali: Bagaimana mengelola, bagaimana upaya strategi dan program, ketika mengalami sebuah krisis. Ini terbukti waktunya cepat untuk bisa kembali pulih," katanya.
Pria yang terlibat dalam Dewan Turisme Bali (Bali Tourism Board) --sekarang GIPI ( Gabungan Industri Pariwisata Indonesia)-- itu mengatakan beberapa hal yang saling mendukung untuk memulihkan pariwisata Bali pascateror bom."Tindakan masyarakat tidak membenci, namun merespons dengan tindakan humanis dan religius... Satu batu kecil pun tidak ada tindakan masyarakat Bali yang melempar masyarakat non-Bali atau tempat suci umat lain. Bali, pulau yang damai," kata dia.
Hal tersebut, sambungnya, kemudian diperkuat untuk menjadi bagian dari promosi kembali industri pariwisata Bali serta jaminan keamanannya ke tingkat nasional dan dunia.
Nyoman mengatakan untuk kunjungan wisatawan di Bali, dari segi jumlah kalau dibandingkan lebih tinggi wisatawan nusantara. Satu hal yang menarik pascateror bom Bali, Nyoman mengatakan jumlah wisatawan dalam negeri tak turun signifikan dibandingkan wisman.
"Artinya wisatawan nusantara jauh sekali memiliki nilai bahwa memahami betul dan trusted pulau Bali ini adalah pulau yang aman dikunjungi terkait dengan wisatanya," kata dia.
[Gambas:Video CNN]
Kekerabatan Keluarga Korban
Di luar upaya pemulihan industri pariwisata untuk menjamin perekonomian Bali, upaya pemulihan trauma terutama terhadap korban maupun keluarga yang kehilangan kerabatnya akibat teror pun terus berjalan.
Korban dan keluarga korban Bom Bali I dan Bom Bali II itu kemudian membangun komunitas --yang belakangan menjadi yayasan-- dengan nama Istri Suami Anak Dewata (Isana Dewata). Ni Kadek juga berada dalam yayasan tersebut. Kelompok itu mengikat diri dalam ikatan hukum sebagai yayasan sejak September 2013.
Selain Kadek, dalam komunitas itu juga ada Ni Luh Erniati dan Wayan Sudiana. Keduanya adalah keluarga korban serangan bom pada 2002 atau Bom Bali I. Masing-masing kehilangan orang terkasih dalam peristiwa ledakan di legian pada 12 Oktober 2002.
Erniati kehilangan suami tercinta dari ledakan yang terjadi di Legian sehingga harus menghidupi kedua anaknya. Dalam meniti hidup, Erniati menjalankan usaha konveksi. Pekerjaannya ini tak lepas dari peran orang Australia yang memberinya pelatihan menjahit pascaperistiwa bom terjadi.
Ni Luh Erniati. (CNN Indonesia/M Andika Putra)
|
Air mata nampak saat Wayan bercerita mengenai sosok istrinya. Seiring waktu berjalan, Wayan menjadi bapak sekaligus ibu bagi kedua anaknya. Wayan sendiri mengaku dirinya sempat setahun mengalami ketakutan, bahkan tak berani keluar rumah.
Saat peringatan pertama Bom Bali I, Wayan mengaku sempat datang ke sana, tapi tak kuat dan kembali ke rumah. Tapi, dari sana, Wayan memutuskan mau untuk bangkit lalu ikut bergerilya mengumpulkan data korban Bom Bali guna menjadi wadah silaturahmi dan saling membantu satu sama lain dalam Isana Dewata.
Isana Dewata itu sendiri kemudian menjadi jaringan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI)--wadah bagi para korban dan keluarga korban terorisme di seluruh Indonesia.
Saban tahun, korban, keluarga korban, dan simpatisan serta wisatawan kerap berkumpul di Monumen Ground Zero yang berada di Legian. Itu adalah lokasi bekas Sari Club yang menjadi target teror Bom Bali I. Monumen berisikan plakat nama 202 korban tewas Bom Bali I itu diresmikan pada 12 Oktober 2004 oleh Bupati Badung yang saat itu dijabat Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi.
Di sisi jalanan Legian yang ramai, monumen tersebut selalu didatangi para wisatawan. Mereka mengabadikan sekaligus mengenang peristiwa teror di jantung wisata Bali tersebut.
(kid)
from CNN Indonesia https://ift.tt/39cNgyS
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menelusuri Jejak-jejak Kebangkitan Bali dari Aksi Terorisme"
Post a Comment