
Proses penguburan jenazah Covid-19 menjadi salah satu bagian penting dalam penanganan virus ini. Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY adalah garda terdepan dalam penanganan jenazah Covid-19, selain Tenaga Kesehatan (Nakes).
Endro Sambodo, anggota TRC BPBD DIY, turut menguburkan sebagian jenazah Covid-19.
Pria asal Sleman ini telah enam tahun bekerja di BPBD DIY, namun tugas kali ini menjadi pengalaman pertamanya dalam mengebumikan jenazah.
Sedikit was-was sempat dirasakan Endro. Apalagi, pengalaman pertamanya langsung terkait dengan jenazah Covid-19.
"Pas awal-awal, kami juga agak takut," katanya kepada CNNIndonesia.com, di kantor BPBD DIY, Rabu (15/4).
Rasa takut, dikatakan Endro, terutama karena ia dan rekan-rekannya belum memahami prosedur pemakaman jenazah kasus Covid-19.
Endro berkata setelah berkonsultasi dengan seorang dokter RS swasta di Yogyakarta, pelan-pelan ketakutan itu pudar.
Hal lain yang membuatnya berani terjun dalam penguburan jenazah Covid-19 adalah pertimbangan kemanusiaan.
Kata dia, sejak virus mewabah, masyarakat saat ini hampir tidak berani menyentuh jenazah. Bahkan ketika jenazah itu bukan korban virus corona.
"Kalau mengandalkan atau meminta bantuan kepada pihak-pihak yang selama ini menangani hal seperti itu, mereka juga takut... Akhirnya, mau tidak mau kami yang melakukan penanganan," ujarnya.
Protokol penguburan jenazah Covid-19 begitu ketat. Endro menuturkan protokol ini diterapkan petugas terhadap semua jenazah Covid-19, baik yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) maupu positif.Satu tim penguburan jenazah Covid-19 berjumlah enam orang. Pembagiannya, dua orang berada di ambulans jenazah, empat orang menggunakan kendaraan lain.
"Karena tidak diperbolehkan personel itu berada satu ruangan atau kendaraan dengan peti," ujarnya.
Sejak awal proses pemakaman petugas yang terlibat wajib memakai alat pelindung diri (APD).
"Cover all sehingga seluruh anggota badan tertutup rapat dari kemungkinan percikan-percikan atau terkena sentuhan kulit dari jenazah," tutur dia.
Selain itu, ada juga pembagian waktu. Dia bilang petugas pemakaman yang telah mengenakan APD selama 1,5 jam wajib diganti oleh petugas cadangan.
Endro berkata pergantian dilakukan karena penggunaan APD selama lebih dari 1 jam bisa menyebabkan dehidrasi. Pernafasan pun terhambat karena penggunaan masker yang rapat.
Selanjutnya, usai penguburan, para petugas yang terlibat harus beristirahat dalam waktu yang tak bisa ditentukan. Mereka dimasukkan ke zona dekontaminasi yang telah disediakan.
Setelah keluar zona dekontaminasi pun para petugas tidak dianjurkan berkegiatan langsung di lapangan selama 1x24 jam. Selepas menjalani semua protokol itu, barulah mereka diperbolehkan beraktivitas seperti biasa.
Endro mengaku kerap bersedih menjalankan tugasnya sebagai pengubur jenazah Covid-19. Apalagi bila yang dikuburnya masih anak-anak."Tapi kami kembali ke tupoksi. Kalau kami terbawa perasaan, terbawa emosi, dan segala macamnya, maka kami tidak akan jalan," ucapnya.
Tak hanya menahan sedih, kata Endro, para petugas juga harus rela jarang bertemu keluarga. Pertama, karena risiko terpapar virusnya besar. Kedua, petugas juga harus siap siaga selama 24 jam, jika sewaktu-waktu ada panggilan.
Meski begitu, Endro mengaku bangga menjadi bagian dari TRC BPBD DIY yang bertugas menguburkan jenazah pasien Covid-19. (tri/wis)
from CNN Indonesia | Berita Terkini Nasional https://ift.tt/3cmUaCk
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kisah Pengubur Jenazah Corona Melawan Takut demi Kemanusiaan"
Post a Comment