Sebelumnya, kepolisian menyebut NF menyerahkan diri usai membunuh temannya itu di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat pada Kamis (5/3). Kepada polisi, NF mengaku tak menyesali perbuatannya.
NF pun mengakui aksinya itu terinspirasi dari sekuel film horor Chucky dan Slender Man. Tersangka kemudian menjalani pemeriksaan kejiwaan di RS Polri Kramat Jati.
Kriminolog Universitas Indonesia Chazizah Gusnita mengatakan ada beberapa faktor penyebab anak melakukan tindak pidana. Menurutnya berdasarkan teori delinquency faktor penyebab anak melakukan tindak pidana adalah lingkungan, teman sebaya, orang tua dan pola asuh.Soal faktor film yang menayangkan kekerasan yang ditontonnya, Chazizah menilai dengan menonton adegan kekerasan, anak akan mengingat kondisi kekerasan yang pernah dialaminya. Selain itu saat anak kerap terpapar kekerasan, menurut Chazizah anak akan menganggap kekerasan hal wajar.
"Ketika seorang anak melakukan tindak pidana, maka ada banyak faktor yang tidak serta merta penyebab satu, ada banyak faktor di sekeliling dia yang akhirnya melakukan kekerasan atau bahkan sampai menghilangkan nyawa," kata Chazizah kepada CNNIndonesia.com.Menurutnya remaja berusia di bawah 18 tahun belum berpikir stabil dan belum diimbangi dengan psikologi yang matang.
Karena itu sudah semestinya remaja mendapat pendampingan dari lingkungan terutama keluarga.
Kriminolog lain Muhammad Mustofa pun menyimpulkan bahwa kasus ini juga terkait kepekaan sosial yang tak berfungsi dalam pengawasan anak, termasuk dalam hal tontonannya. Walhasil, perubahan kejiwaan pelaku tak terpantau.
"Mungkin hanya pengendalian dan pengawasan dari paparan informasi (TV, medsos, film) kekerasan, yang tidak fungsional di keluarga, sekolah, dan masyarakat," kata dia.
"Termasuk kepekaan sosial orang tua, sekolah/guru, masyarakat terhadap indikasi kesehatan jiwa," kata Mustofa.
Pengawasan Lemah Keluarga
Sementara itu pemerhati anak, Seto Mulyadi alias Kak Seto, mengatakan kasus mengejutkan ini tak lepas dari lemahnya peran orang tua dan lingkungan sekitar NF yang abai dengan gejala kejiwaan pelaku.
"Bahwa enggak ada perhatian, dia bisa simpan jenazah [korban] dalam almari, keluarganya enggak tahu, itu kan berarti kurang ada keakraban di dalam keluarga," kata Seto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (9/3).Seto menduga NF mengalami gangguan kejiwaan callous-unemotional (CU), semacam gejala mengarah pada perilaku psikopat.
Seto mengatakan tidak sedikit anak yang memiliki gejala gangguan kejiwaan seperti itu. Gejalanya berupa perubahan sikap anak atau remaja yang cenderung kekurangan empati, seperti menyiksa binatang.
Gangguan kejiwaan itu, kata dia, sebetulnya bisa segera diatasi jika orang tua peduli dengan perubahan sikap anak. Terlebih perubahan sikap saat anak mulai beranjak remaja.
![]() |
"Karena kalau tidak [anak] akan meledakkan dalam bentuk-bentuk yang paling ekstrem sampai melakukan tindakan pembunuhan tanpa merasa bersalah," lanjut Seto.
Lemahnya perhatian lingkungan itu, lanjut Seto, berdampak pada kecenderungan anak-anak dan remaja untuk mencari pelarian di dunia maya.
"Pelarian paling ampuh YouTube, menyukai tayangan-tayangan [kekerasan] itu, makin tinggi potensinya, sehingga begitu ada peluang, ada kecewa, ingin membuktikan kehebatannya, dia akan mengambil tindakan seperti itu," jelas dia.
Senada, Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait menduga ada peran tontonan dan penggunaan internet tanpa batasan oleh anak.
"Dia konsumsi terus menerus tayangan-tayangan yang mengandung kekerasan, ujaran kebencian, kemudian gawai dan sebagainya, itu mengakibatkan kesehatan mental dan jiwa anak itu terganggu," kata Aris kepada CNNIndonesia.com.
"Dampaknya, anak menjadi punya perilaku sadisme, anak menjadi punya sifat kecenderungan psikopat," lanjut dia.
(dmr/arh)
from CNN Indonesia | Berita Terkini Nasional https://ift.tt/2W2GIij
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Remaja Bunuh Bocah, Antara Abai Lingkungan dan Film Kekerasan"
Post a Comment