Anjuran moral Jokowi atas persoalan Papua ibarat memberikan segelas air kepada orang yang sedang sekarat karena kelaparan di lumbung padi.
Air itu mungkin bisa membantu orang tersebut bertahan hidup, tapi untuk berapa lama?
Persis seperti Papua. Jokowi gagal melihat kerusuhan Papua dalam konteks yang lebih besar.
Sayangnya, rasialisme bukan satu-satunya yang memicu kemarahan orang Papua. Kerusuhan yang terjadi pada pekan lalu sampai hari ini adalah erupsi kecil dari sebuah kawah yang sedang bergejolak.
Kawah yang bergejolak itu menyimpan aneka ragam persoalan yang selama ini dialami oleh orang-orang Papua. Mulai dari pelanggaran HAM, kemiskinan, hingga praktik diskriminasi dan rasialisme.
Persoalan di Papua kompleks dan terstruktur. Persoalan-persoalan itu sudah merentang sejak Republik berupaya mengintegrasikan Papua menjadi bagian dari NKRI. Papua hanya diperlakukan sebagai objek.
Ambisi Repubik menguasai Papua sedikitnya didasarkan pada tiga pijakan klaim.
Dari ketiga alasan itu, hanya alasan kedua yang masih bisa diperdebatkan. Dua alasan lain, dugaan penulis, adalah hasil imajinasi Sukarno dan kawan-kawan yang mendukungnya. Mohammad Hatta bahkan telah mengingatkan Sukarno mengenai bahaya memasukkan Papua ke Indonesia.
Hatta adalah pendiri Republik yang tak setuju Papua menjadi bagian dari Indonesia. Hatta beralasan Papua bukan bagian dari ras melayu.
Mengutip Historia, Hatta mengingatkan prasangka negatif dari masyarakat internasional yang mungkin muncul jika Indonesia memasukkan Papua.
"Jadi jikalau ini diterus-teruskan, mungkin kita tidak puas dengan Papua saja tetapi (kepulauan) Salomon masih juga kita minta dan begitu seterusnya sampai ke tengah laut Pasifik. Apakah kita bisa mempertahankan daerah yang begitu luas?," tanya Hatta kepada hadirin sidang.
Yang paling penting dalam sidang BPUPKI itu ialah tak ada satu pun perwakilan dari Papua ketika tokoh-tokoh pendiri bangsa membahas nasib tanah mereka.
Kisruh di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. (Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
|
Referendum yang seharusnya digelar dengan mekanisme satu orang satu suara atau one man one vote, tidak pernah terjadi. Nasib Papua dalam Pepera hanya diputuskan oleh sebagian orang Papua. Belum lagi laporan dugaan intimidasi terhadap para peserta Pepera.
Dengan segala kontroversi itu, Pepera menghasilkan suara mayoritas peserta menginginkan Papua menjadi bagian dari Indonesia.
Empat tahun setelah Pepera, tepatnya 3 Maret 1973, Jenderal Soeharto meresmikan salah satu proyek investasi asing terbesar di Indonesia, yakni tambang tembaga milik PT Freeport di bumi Papua.
Horor di Papua
Kekerasan terhadap warga Papua semakin menjadi-jadi saat pemerintah menetapkan status daerah operasi militer (DOM) 1978-1998.
DOM berlangsung 20 tahun. Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut ada ribuan korban jiwa dari masyarakat sipil sejak Republik memasuki Papua.
Belasan kasus dugaan pelanggaran HAM dan kekerasan terhadap warga sipil pun menyeruak. Kasus-kasus itu di antaranya Peristiwa Abepura 7 Desember 2000, Wasior 2001 dan Wamena 1 April 2003. Atau kasus besar seperti Biak Berdarah 1998.
Yang baunya masih tercium kuat, tentu saja tragedi Paniai 2014. Saat itu, empat anak tewas diduga akibat aksi represif dari aparat.
Dugaan kejahatan terhadap masyarakat Papua itu belum termasuk kerusakan alam akibat eksploitasi dan kemiskinan di sejumlah wilayah Papua.
Presiden Jokowi tentu saja telah membuat perubahan di Papua selama memimpin.
Pembangunan infrastruktur digalakkan untuk membuka wilayah-wilayah terpencil. Perhatian psikologis tak kurang-kurangnya dicurahkan. Papua mungkin menjadi salah satu wilayah yang paling sering dikunjungi Jokowi selama berkuasa.
Namun pendekatan infrastruktur Jokowi tak sebanding dengan ribuan nyawa yang meregang di Bumi Cendrawasih. Atau dengan kekerasaan yang selama puluhan tahun terus menimpa masyarakat sipil.
Presiden Jokowi melintas di jalan Trans Papua.(Foto: ANTARA FOTO/Iwan Adisaputra)
|
Maka, Pak Jokowi, jika rakyat Papua mengamuk akibat cercaan rasialis yang terjadi di Surabaya, akhir pekan lalu, sesungguhnya sikap itu bukan respons ketersinggungan sesaat.
Reaksi masyarakat Papua harus dilihat dengan mata yang lebih tajam, yakni respons terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan selama puluhan tahun.
Yang mereka inginkan hanyalah hidup sebagai orang-orang bebas.
Bebas dari penindasan, diskriminasi, dan ancaman terhadap nyawa mereka. Seruan kebajikan tak akan mengairi dahaga panjang orang-orang Papua akan keadilan. (asa)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2P6eUaJ
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pace Mace di Papua dan Kabut Moral Jokowi"
Post a Comment