Koordinator lapangan Nurman menerangkan kronologi konflik yang terjadi di antara kedua pihak tersebut.
Nurman menjelaskan pada 1986 Kementerian Dalam Negeri melakukan pelepasan lahan dengan memberikan surat keputusan menindaklanjuti SK Gubernur Jambi. Surat tersebut terkait pelepasan lahan seluas 20 ribu hektare untuk diberikan hak guna usaha (HGU) kepada PT Bangun Desa Utama (PT BDU).
"Ada 3.550 hektare tanah masyarakat di dalamnya," kata Nurman kepada CNNIndonesia.com saat dihubungi, Rabu (28/8).
Perusahaan itu kemudian berganti nama menjadi PT Asiatic Persada pada 1992, lalu berganti nama lagi menjadi PT Berkat Sawit Utama (PT BSU) pada 2016.
Setelah ada pelepasan lahan di 1986 itu, pada tahun yang sama Nurman mengatakan terjadi penggusuran lahan secara besar-besaran di tanah masyarakat Suku Anak Dalam yang tergabung dalam luasan HGU tersebut. Penggusuran itu, kata Nurman, masih terus berlanjut hingga sekarang.
Pada 1987, Kementerian Kehutanan melakukan pengecekan dan survei di lahan yang akan diberikan HGU itu. Menurutnya, Kementerian Kehutanan juga menyatakan ada tanah masyarakat yang harus dikembalikan.
"Jadi, mereka survei bahwa di situ ada peladangan masyarakat 2.100 (hektare), belukar mereka 1.400 (hektare) dan 50 hektare perumahan Suku Anak Dalam," ujarnya.
Namun setelah itu, lanjut Nurman, Kementerian Kehutanan malah menyetujui pelepasan kawasan hutan seluas 27.150 hektare untuk diberikan HGU tersebut.
"Itu tahun 1992 [SK secara resmi dikeluarkan]. Jadi kami pikir ada kesalahan dari negara atau pemerintah yang memberi hak itu. Kan, seharusnya peta Kementerian Kehutanan dulu, sesudah itu pelepasan, baru sertifikat HGU, ini terbalik," katanya.
Ia pun mengatakan berdasarkan surat-surat milik masyarakat asli pada periode kolonial Belanda tahun 1927, 1930 dan 1940 ada pengakuan tanah milik masyarakat oleh Belanda.
Kini, lanjut Nurman, di dalam 3.550 hektare lahan masyarakat itu masih ada yang belum tergusur. Menurutnya masih ada 3 RT atau 130 kepala keluarga yang masih tinggal dan diakui pemerintah keberadaannya.
Nurman mengatakan kelompok masyarakat SAD perlu bertemu Jokowi lantaran hanya pemerintah pusat yang bisa menyelesaikan konflik tersebut.
"Padahal sudah ada surat-surat kita pegang pada 2016 itu Bapak Menteri ATR/BPN RI Ferry Mursyidan itu menginstruksikan, menegaskan kepada Kanwil Provinsi Jambi dan perusahaan untuk kembalikan hak masyarakat 3.550 hektar dan berikan mereka kedudukan di situ dan berikan sertifikat komunal," tuturnya.
Salah satu Suku Anak Dalam, Jambi. (ANTARA FOTO/Regina Safri)
|
Kemudian mereka juga meminta Presiden dan Kapolri memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap masyarakat SAD dan para petani, serta meminta pemerintah dan aparat penegak hukum mengambil langkah penegakan hukum terhadap PT BSU.
PT BSU sendiri, lanjut Nurman, diduga telah melakukan pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit di atas kawasan hutan, lahan konservasi dan sempadan sungai.
"Serta melakukan perluasan kebun yang diduga di luar izin HGU teemasuk perluasan kebun melalui anak perusahaan yaitu PT Jamer Tulen dan PT Maju Perkasa Sawit yang tanpa izin," tulis Nurman dalam keterangan pers.
Mereka juga meminta agar penegak hukum mengusut pelanggaran yang dilakukan anak perusahaan PT BSU terkait perluasan lahan tanpa izin dan pemalsuan tanda tangan bupati Batanghari pada Dokumen Izin Usaga Perkebunan Budidaya (IUP-B).
Selain itu, masyarakat SAD dan petani Jambi juga meminta agar KPK turut mengusut kegiatan perambahan dan penguasaan kawasan hutan di Jambi yang dapat menyebabkan kerugian negara. Mereka juga meminta agar kriminalisasi terhadap aktivis dan petani dihentikan.
"Kami mengusulkan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk membentuk Badan Nasional Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (BNPKAT) yang berpedoman pada lonstitusi Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA Nomor 5 Tahun 1960," katanya.
[Gambas:Video CNN] (ani/pmg)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2Nxgosl
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kronologi Konflik Lahan Suku Anak Dalam dan Perusahaan Sawit"
Post a Comment