Menurutnya, hal ini harus dilakukan karena peristiwa rasialisme berdampak pada masyarakat sipil. "Kita mendorong oditur dan kejaksaan kerja sama membawa ke pengadilan umum," kata Isnur di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Rabu (28/9).
Isnur menjelaskan jika oditur menyadari hal itu maka pihak oditur harus mengajukannya setelah berkas dilimpahkan, agar peradilan dipindahkan ke peradilan umum.
Hal ini tercantum dalam KUHAP Pasal 89 yang mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan peradilan militer diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Kemudian ia menerangkan ada sejumlah pasal yang dilanggar dalam peristiwa itu terkait terdampaknya masyarakat publik.
Pasal-pasal itu adalah Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Diskriminasi Rasial dan Etnis serta melanggar Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Tahun 1965 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
"Nanti kemudian orang-orang bisa menilai. Di pengadilan negeri. Yang menyediakan juga sipil. Jadi korban mesti terwakili," ujarnya.
"Kami mewacanakan ke arah sana, hal yang selama ini enggak disadari. Publik menganggapnya kalau sudah di pengadilan militer sudah selesai masalah padahal secara hukum enggak tepat," jelas dia.
Sebelumnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengaku akan menjalin komunikasi dengan Kodam V/Brawijaya. Hal itu berkaitan dengan aksi rasialisme yang diduga dilakukan oknum TNI terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya.
Aksi rasialisme terjadi Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Surabaya, itu juga disebut sebagai salah satu pemicu kerusuhan di beberapa kota di wilayah Papua dan Papua barat sepekan terakhir.
Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) V/Brawijaya Letkol Arm Imam Haryadi juga mengaku telah menonaktifkan sementara Danramil 0831/02 Tambaksari Mayor Inf N.H. Irianto.
"Iya, diskorsing dari jabatannya, jadi sementara dibebastugaskan, dinonaktifkan, jadi dalam rangka mempermudah penyidikan, kemudian juga mempertimbangkan jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," kata Imam, kepada CNNIndonesia.com, Minggu (25/8).
Polri tak tahu selongsong peluru di asrama
Terpisah, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengaku tidak mengetahui tentang kabar ditemukannya tiga selongsong peluru yang ditemukan di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya terkait insiden pengepungan asrama Jumat (16/8) lalu.
"Kalau ada tiga selongsong peluru seperti yang disampaikan itu bukan dari pernyataan kami," Kata Frans di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Rabu (28/8).
Sebelumnya, terdapat kabar terjadinya penembakan gas air mata oleh aparat saat melakukan pengepungan di Asrama Papua. Selain itu, terdapat kabar ditemukannya tiga peluru dan juga bom molotov pascaaksi pengepungan di asrama tersebut.
Frans pun mengonfirmasi adanya bom molotov di asrama Papua, serta penembakan gas air mata adalah dari pihak kepolisian. "Benar ada penembakan gas air mata (dari aparat). Kita sedang lakukan pemeriksaan. Kalau bom molotov memang (pernyataan) dari kami," Ucap Frans.
Frans kemudian menjelaskan bahwa penyelidikan terkait persoalan pengepungan asrama Papua Surabaya dilakukan secara transparan.
"Investigasi terbuka ya, Polda jatim terbuka terhadap investigasi. Siapa saja, termasuk tim presiden sudah datang, Komnas HAM juga," tuturnya.
[Gambas:Video CNN] (ani/ary/ain)
from CNN Indonesia https://ift.tt/347eXGR
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "YLBHI Dorong Pelaku Rasialisme Dibawa ke Peradilan Umum"
Post a Comment