Pelaksanaan kebiri kimiawi ini sempat menimbulkan perdebatan. Salah satunya berasal dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang menolak menjadi eksekutor lantaran kebiri dinilai bukan pelayanan medis. Eksekusi itu dianggap tak berkaitan dengan tugas dokter dan tenaga kesehatan.
Selain itu, dokter yang menjadi eksekutor kebiri kimia juga berpotensi menimbulkan konflik norma yang diatur dalam etika kedokteran. Organisasi kesehatan dunia (WHO) dan undang-undang kesehatan pun telah melarang tindakan kebiri kimia tersebut.
Selanjutnya penolakan juga datang dari Komnas HAM yang menilai hukuman kebiri itu melanggar hak asasi manusia. Tak hanya merendahkan martabat pelaku, hukuman kebiri juga dinilai merendahkan martabat penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.
Hukuman kebiri ini sebelumnya dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto kepada Aris karena terbukti melakukan kekerasan dengan memaksa anak melakukan persetubuhan. Putusan ini kemudian diperkuat di tingkat banding. Aris dianggap melanggar Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat (2) UU 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.Hukuman ini merupakan pidana tambahan dari pidana pokok, yakni penjara 12 tahun dan denda Rp100 juta subsidier enam bulan kurungan yang dijatuhkan pada Aris.
Ketentuan mengenai hukuman kebiri memang telah diatur dalam UU 17/2016. Pada Pasal 81 ayat (7) menyebutkan, selain dikenai pidana utama atas persetubuhan pada anak, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Sementara dalam Pasal 81A menjelaskan, jangka waktu pelaksanaan hukuman kebiri dibatasi paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Artinya eksekusi kebiri itu baru dilakukan usai Aris selesai menjalani masa pidana penjara 12 tahun.
Efek kebiri kimia yang dirasakan Aris juga tidak akan berlangsung seumur hidup. Setelah dua tahun, negara wajib memulihkan hasrat seksualnya seperti semula.
Pelaksanaan hukuman ini pun berada di bawah pengawasan secara berkala oleh kementerian di bidang hukum, sosial, dan kesehatan.Dalam beleid tersebut juga mengatur pelaksanaan kebiri kimia yang harus disertai dengan rehabilitasi. Hanya saja tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi itu diatur lebih lanjut dalam PP yang hingga saat ini masih dibahas oleh pemerintah.
Proses Finalisasi PP
Direktur Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Kanya Eka Santi mengatakan, draf PP tentang teknis pelaksanaan kebiri saat ini telah berada di Sekretariat Negara. Jika tak ada perubahan, draf PP itu hanya tinggal menunggu persetujuan dari Presiden Joko Widodo.
"Dokumennya sudah di Setneg, jadi sudah enggak lama lagi," katanya.
Dalam PP tersebut menyebutkan rincian teknis pelaksanaan kebiri dan rehabilitasi yang telah dipaparkan dalam UU 17/2016. Namun ia tak menjelaskan lebih lanjut terkait teknis pelaksanaannya."Di PP itu memastikan ketentuan apabila perilaku berulang, kemudian soal pengumuman identitas pelaku. Untuk eksekutor juga dijelaskan di situ. Tapi nanti tunggu saja," ucap Eka.
Sementara itu Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Kemensetneg, Lidya Silvana Zaman mengatakan draf PP tentang pelaksanaan hukuman kebiri sudah dalam proses finalisasi. Namun draf tersebut memang belum diteken Jokowi.
"Sudah proses finalisasi," ujar Lidya saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis (29/8).
Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia
|
[Gambas:Video CNN] (psp/osc)
from CNN Indonesia https://ift.tt/345AW0N
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Aturan Teknis Eksekusi Hukuman Kebiri Tinggal Diteken Jokowi"
Post a Comment