Perwakilan warga, Syarifudin (58) mengungkapkan penyerangan terhadap anggota polisi berawal dari permintaan pungutan liar aparat kepolisian terkait proyek pembangunan jalan.
Menurut Syarifudin, polisi meminta jatah Rp30 ribu per angkutan batu dalam satu truk. Dia mengatakan polisi lebih dari satu kali meminta jatah sejak proyek pembangunan jalan mulai dilakukan dua bulan lalu.
Syarifudin menjelaskan semua bermula ketika keponakannya, Erwin dan Erwan, sedang bekerja mengamankan sebuah proyek pengambilan material batu kerikil di sungai air deras daerah tersebut.
Erwin dan Erwan merupakan warga Desa Tangga Rasa, Kecamatan Sikap Dalam, Kabupaten Empat Lawang, yang bekerja sebagai tenaga pengaman desa.
Erwin dan Erwan hendak menuju rumah seorang warga bernama Irwanto yang dijadikan sebagai tempat menjaga alat berat. Sesampainya di sana, sudah ada empat anggota polisi yang menunggu, tiga di antaranya menggunakan penutup wajah.
Seorang polisi yang tidak mengenakan penutup wajah ialah Bripka Darmawan. Menurut Syarifudin, kehadiran polisi itu ingin bertemu pelaksana proyek guna meminta sejumlah uang. Namun karena tidak menemui pelaksana proyek, mereka mengambil jeriken berisi solar kemudian mendapat penolakan dari Erwin dan Erwan.
"Lalu setelah itu secara tiba-tiba, polisi memiting leher Erwin dan Erwan dan melakukan penembakan ke arah perut korban," ucap Syarifudin saat konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta, Selasa (27/8).
Irwanto, sebagai pemilik rumah juga mendapati tembakan di bagian tangannya.
Mendengar ada suara tembakan, sejumlah warga yang berada di dekat lokasi merespons dengan melakukan tindakan perlawanan yang mengakibatkan dua anggota polisi mengalami luka karena senjata tajam. Sementara dua polisi lainnya, kata Syarifudin, melarikan diri karena kehabisan amunisi peluru.
Diberondong Tembakan
Setelah peristiwa itu, warga lantas membawa Erwin dan Erwan ke beberapa fasilitas layanan kesehatan hingga akhirnya sampai di RSUD Tebing Tinggi dengan menggunakan mobil pengangkut sayur milik warga. Sementara dua polisi yang terluka dibawa oleh rekannya menggunakan mobil polisi.
Pihak keluarga, kata Syarifudin, langsung bergegas menuju rumah sakit sesaat mendengar kabar tersebut. Mereka menggunakan truk terbuka dalam perjalanan menuju RSUD Tebing Tinggi guna membesuk korban.
Namun, belum sampai rumah sakit mereka diadang puluhan anggota polisi dari Polres Empat Lawang yang dilengkapi senjata api.
Agus Suryo, warga Kabupaten Empat Lawang, saat memberikan keterangan pers terkait penyerangan polisi di Kantor KontraS, Selasa (27/8). (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)
|
Agus Suryo (52), yang juga merupakan paman Erwin dan Erwan menjelaskan senjata tajam sudah menjadi bagian sehari-hari warga Kabupaten Empat Lawang dalam beraktivitas. Senjata tajam merupakan simbol dari tiadanya satu tulang rusuk seorang pria. Oleh karena itu, senjata tajam acap kali disematkan pada bagian pinggang warga Kabupaten Empat Lawang.
"Di sana kalau nikah biarpun maharnya emas tapi enggak ada pisau, itu tidak bisa (dilaksanakan)," ucap Agus.
Dia menambahkan ketidaktahuan polisi mengenai kultur masyarakat Kabupaten Empat Lawang berakibat pada jatuhnya korban.
"Ada tiga warga yang mengalami luka tembak yaitu Samsul bin Yunus, M. Soleh bin Yunus dan Sukiran. Selebihnya sekitar sembilan orang mengalami luka-luka," kata Agus.
Sementara itu, Syarifudin yang ikut dalam rombongan berhasil masuk ke rumah sakit. Ketika ingin menuju ruang Unit Gawat Darurat (UGD), dirinya ditahan oleh beberapa anggota polisi yang berjaga di dalam. Di posisi ini, dia mengaku mendapat penganiayaan.
"Pada saat masuk mendekat UGD, saya dipukul beberapa kali di pundak kiri," ujarnya dengan gestur saat dirinya mendapat pukulan.
Syarifudin menuturkan dirinya juga sempat mendapat pertolongan dari dua anggota polisi ketika kondisinya sudah sempoyongan.
"Sudahlah ini orang sudah tua, ini orang sudah tua, sudahlah," tutur Syarifudin menirukan perkataan polisi yang menolongnya.
Walhasil, dengan menerobos dan memutar jalan Syarifudin berhasil menemui dua keponakannya.
Warga Masih di Hutan
Ilustrasi warga di hutan. (REUTERS/Ueslei Marcelino)
|
"Usai itu kejadian masyarakat lari ke hutan," papar Agus.
Dengan kata lain, kata Agus, sudah 28 hari warga meninggalkan rumahnya dan tidak diketahui kabarnya sampai saat ini.
Sejak ditinggalkan, perkebunan milik warga menjadi rentan dicuri oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Dia berujar warga Kabupaten Empat Lawang mayoritas menanam kopi, merica, dan kemiri.
"Kami berharap agar masyarakat bisa dilindungi keamanannya, bukan malah diburu seperti di medan perang," tukas dia.
Atas rentetan peristiwa yang sudah terjadi, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menuntut Kapolda Sumatra Selatan Firli Bahuri untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan secara mendalam atas dugaan pungutan liar dan penggunaan kekuatan secara berlebih dalam peristiwa penembakan.
Selain itu, mereka juga mendesak Kapolda Sumatra Selatan untuk mengevaluasi secara menyeluruh dan berkala terkait mekanisme dan kepemilikan senjata api.
"Terkait 14 orang yang ditahan, kami meminta terjaminnya hak-hak mereka, termasuk hak atas bantuan hukum, informasi, dan jaminan akses terhadap keluarga," sambung Kepala Divisi Pembelaan HAM KontraS Raden Arif Nur Fikri.
Bentrokan antara warga dan polisi di Desa Tanjung Raman, Kecamatan Pendopo, Kabupaten Empat Lawang terjadi pada Rabu (31/7). Polisi telah menetapkan 16 orang sebagai tersangka usai bentrokan tersebut.
Kabid Humas Polda Sumsel Komisaris Besar Supriadi mengatakan peristiwa tersebut bermula saat anggota Unit Reskrim Polsek Ulu Musi Empat Lawang menerima laporan pengancaman oleh tiga warga Desa Tanjung Raman terhadap seorang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada Selasa (30/7).
[Gambas:Video CNN] (ryn/pmg)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2NAggbn
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bentrokan Empat Lawang, Warga Bantah Kronologi Versi Polisi"
Post a Comment