Belum lagi kubu oposisi --terutama PAN, Demokrat dan Gerindra, yang notabene rival Jokowi dan PDIP di Pilpres 2019, semakin dekat untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan. Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sudah bertemu Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Implikasinya, pengawasan di parlemen rentan menjadi longgar karena mayoritas parpol mendukung pemerintah. Jika pun ada oposisi, kekuatannya tidak akan seberapa.
Hasil Pemilu 2019 menyatakan bahwa parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf bakal menguasai parlemen. Mereka diprediksi bakal memiliki 349 kursi atau 60,8 persen.
Angka itu berasal dari perolehan kursi PDIP (22,3 persen atau 128 kursi), Golkar (14,8 persen atau 85 kursi), NasDem (10,3 persen atau 59 kursi). Kemudian, PKB (10.1 persen atau 58 kursi), dan PPP (3,3 persen atau 19 kursi).
Apabila Gerindra bergabung, koalisi pemerintah memiliki 74,4 persen atau 427 kursi di DPR. Gerindra sendiri memperoleh 13,6 persen atau 78 kursi.
Sejauh ini hanya PKS yang tidak mbalelo dan memilih setia jadi oposisi. Namun mereka hanya memiliki sedikit kursi, yakni 8,7 persen atau 50 kursi.
Sementara Partai Demokrat dan PAN masih bimbang dan belum tegas menentukan arah politik selanjutnya. Partai Demokrat diprediksi memiliki 9,4 persen atau 54 kursi dan PAN menguasai 7,7 persen atau 44 kursi DPR.
Presiden Jokowi bersama sejumlah menteri saat kunjungan kerja ke Bunaken. (Dok. Biro Pers Setpres/Kris)
|
Kabinet Nonparpol Cocok dengan Sistem Presidensial
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai pembentukan kabinet yang berisi menteri nonparpol tidak terbilang mustahil. Justru sistem presidensial yang diterapkan Indonesia cocok dengan itu.
"Sistem presidensial itu memberikan keleluasaan bagi presiden untuk menunjuk menteri yang membantu dirinya dalam merealisasikan program-program," tutur Refly saat dihubungi CNNIndonesia.com.
Refly menjelaskan bahwa presiden Indonesia dipilih oleh masyarakat secara langsung, bukan berdasarkan dukungan parpol di parlemen.
Parpol tidak bisa menuntut sesuatu kepada presiden dengan memaksa. Meski parpol yang bersangkutan berjasa memenangkan presiden dalam pilpres, jasanya itu tidak bisa diidentifikasi secara mutlak.
"Kita tidak bisa menghitung secara eksak berapa banyak suatu partai menyumbangkan suara untuk kemenangan presiden di pilpres," kata Refly.
Presiden Indonesia juga tidak bisa langsung dilengserkan jika tidak mendapat dukungan mayoritas parpol di parlemen. Ada beberapa syarat dan tahapan yang harus dilalui.
Misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) harus memeriksa dan mengadili terlebih dahulu jika presiden memang patut diberhentikan seperti yang diinginkan DPR.
Kabinet Kerje Periode pertama Joko Widodo. (CNN INDONESIA/ SAFIR MAKKI)
|
Oleh karena itu, presiden Indonesia seharusnya bisa lebih mudah memilih menteri yang tidak memiliki kaitan dengan parpol.
Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan parlementer. Kabinet nonparpol cenderung sulit dibentuk di negara yang menganut sistem pemerintahan tersebut.
Dia menjelaskan bahwa dalam sistem parlementer, pemimpin pemerintahan yakni perdana menteri dipilih oleh parpol di parlemen. Kemudian, perdana menteri juga mesti memilih menteri dari kalangan parpol. Tidak terlalu mementingkan menteri tersebut memiliki kapasitas atau tidak.
Itu dilakukan berdasarkan kekuatan masing-masing parpol di parlemen. Perdana menteri perlu mengambil langkah demikian demi memelihara dukungan di dewan.
Jika itu tidak dilakukan, parpol di parlemen bisa menarik dukungan dari perdana menteri. Implikasi terburuknya, perdana menteri bisa dilengserkan lewat parlemen ketika sudah tidak memiliki dukungan yang dominan dari parpol.
"Sistem parlementer itu mengandalkan yang namanya penguasaan mayoritas kursi di parlemen agar perdana menteri tidak jatuh," kata Refly.
Zaken Kabinet
Refly juga mengatakan bahwa zaken kabinet cocok jika dibentuk di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial. Motifnya kurang lebih sama dengan pembentukan kabinet nonparpol.
Presiden tidak terlalu terikat dengan parpol di parlemen. Dengan kata lain, presiden tidak bisa dilengserkan meski hanya mendapat dukungan minoritas di parlemen.
Zaken kabinet sendiri menghendaki menteri-menteri yang ahli di bidangnya. Refly mengatakan ahli yang dimaksud bisa berasal dari nonparpol atau dari parpol.
Jika Jokowi serius ingin merealisasikan program-programnya, lanjut Refly, lebih baik memilih menteri yang benar-benar ahli di bidangnya. Tidak sekadar mengangkat orang yang diajukan oleh parpol pendukungnya.
"Kader terbaik parpol tidak selalu cocok dengan posisi di kementerian," kata Refly.
Jajaran petinggi parpol pendukung Jokowi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Ahli yang dimaksud Refly mesti memenuhi tiga aspek, antara lain profesional atau berkualitas, independen dan berintegritas.
Profesional atau berkualitas yang dimaksud harus memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang linear dengan posisinya di kementerian. Menurutnya itu penting karena menteri adalah seorang eksekutor.
"Menteri harus langsung berlari saat pertama kali menjabat. Kalau latar belakangnya tidak sesuai dan tidak punya pengalaman, itu tidak bisa karena harus adaptasi dulu," kata Refly.
Independen berarti tidak terikat dengan parpol atau pihak lain. Itu perlu agar menteri yang bersangkutan tidak tersandera oleh kepentingan politik saat menjalankan tugasnya.
Berintegritas berarti jujur dan mengutamakan kepentingan rakyat serta patuh pada peraturan. Menteri mesti menjadi model yang baik bagi para bawahannya.
"Menteri harus bisa mengutamakan masyarakat, karena presiden sendiri dipilih langsung oleh rakyat," kata Refly.
[Gambas:Video CNN] (bmw/gil)
from CNN Indonesia https://ift.tt/32XHs99
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Urgensi Zaken Kabinet di Rezim 'Koalisi Gemuk' Jokowi"
Post a Comment