"Impossible. Kutukan demokrasi elektoral kita memaksa presiden memilih menteri dari parpol," tutur Adi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (27/7).
Ganjalan yang akan menghalangi Jokowi menurut Adi yakni parpol telah berjasa pada Pilpres 2019 lalu. Hal itu membuat Jokowi sulit untuk mengabaikan kader parpol yang disodorkan sebagai calon menteri.
Selain itu, parpol juga pasti meminta imbalan berupa kursi menteri. Tidak mungkin tidak. Terutama mereka yang memperoleh kursi di parlemen.
Adi mengatakan bahwa posisi menteri merupakan harga mati yang diminta parpol kepada presiden yang telah dimenangkannya. Selain itu, tak ada imbalan lain yang lebih setimpal.
"Mendapat kursi menteri adalah salah satu cara mempertahankan kelangsungan hidup parpol, baik secara logistik maupun secara politik," kata Adi.
Sesi pemotretan Kabinet Kerja Pemerintahan Jokowi-JK. (FOTO: SAFIR MAKKI)
|
Adi mengamini bahwa koalisi yang gemuk dan oposisi yang tergolong lemah kurang baik bagi pemerintahan. Pengawasan di parlemen menjadi longgar karena mayoritas parpol di parlemen mendukung pemerintah.
Apalagi jika semua menteri berasal dari kalangan parpol. Hal itu otomatis membuat fraksi-fraksi di parlemen tidak jernih dalam mengawasi menteri yang bersangkutan karena terikat dengan kepentingan politik.
Meksi begitu, masih ada kans kabinet mendatang diisi oleh menteri yang benar-benar ahli di bidangnya. Masih ada kemungkinan Jokowi tidak sekadar mengangkat menteri dari nama yang disodorkan parpol.
"Jokowi harus bisa bernegoisasi dengan parpol yang calon menterinya tak sesuai background pendidikan dan kapasitasnya," kata Adi.
Terpasung Parpol
Pakar hukum tata negara Refly Harun pesimis Jokowi mampu membentuk zaken kabinet. Dia cemas Jokowi didesak mengangkat menteri yang diajukan parpol pendukungnya tanpa melihat kapasitas.
"Saya justru khawatir Pak Jokowi dipasung," tutur Refly.
Zaken kabinet yang dimaksud Refly yakni berisi menteri-menteri yang ahli di bidangnya. Bisa berasal dari parpol, bisa juga murni dari kalangan profesional.
Menteri-menteri yang dimaksud mesti berkualitas atau profesional, independen, dan berintegritas.
Berkualitas berarti memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai. Independen berarti sudah tidak terikat dengan kepentingan politik meski berasal dari parpol. Berintegritas bermakna jujur dan benar-benar ingin bekerja secara optimal.
Presiden Jokowi besama sejumlah menteri saat kunjungan kerja ke Bunaken. (Dok. Biro Pers Setpres/Kris)
|
Refly menganggap posisi Jokowi sekarang tak seperti 2014 lalu. Kala itu, parpol yang mendukungnya tidak sebanyak di Pilpres 2019. Karenanya, Jokowi pun mesti memberikan imbalan lebih banyak.
Belum lagi jika para kelompok relawan mengungkit jasanya saat Pilpres 2019. Jokowi juga pasti dimintai imbalan oleh mereka.
"Tergantung kontrak politik sebagai etika. Kalau mereka mendukung karena Lilahitaala karena cocok dengan program, harusnya tidak menagih. Tetapi kalau mereka mendukung karena dilatarbelakangi mendapat jabatan di pemerintahan. Nah ini kan etika politik," tutur Refly.
Meski pesimis, Refly tetap berharap Jokowi mampu mengangkat menteri yang benar-benar ahli di bidangnya. Toh, Jokowi sudah tidak perlu memelihara dukungan dari parpol untuk 2024 karena sudah tidak bisa maju kembali sebagai capres.
"Kita rindu orang-orang profesional yang menjadi menteri. Bukan orang orang yang enggak bisa kerja," kata Refly.
"Saya berharap Pak Jokowi bisa keluar dari pasungan itu. Ibaratnya, silakan sampaikan aspirasi tapi saya yang memutuskan dengan pertimbangan matang," lanjutnya.
[Gambas:Video CNN] (bmw/gil)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2yjWMyS
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Zaken Kabinet Jokowi Terpasung 'Kutukan Demokrasi Elektoral'"
Post a Comment