
Dua anak perusahaan yang dimaksud antara lain PT Federal International Finance dan (FIF) dan PT Astra Multi Finance (AMF).
Dalam kerja sama itu, perusahaan dapat mengakses Nomor Induk Kependudukan (NIK), Data Kependudukan dan Kartu Tanda Penduduk (E-KTP) milik Ditjen Dukcapil. Data diberikan untuk menunjang proses verifikasi data calon konsumen.
Sebetulnya, kerja sama sudah terjalin sejak 16 Juli 2017 lalu. Kemudian, diperpanjang pada 16 Juli 2019 lalu.
Kebijakan itu belakangan menjadi sorotan publik setelah Komisioner Ombudsman Alvin Lie mengkritisi langkah Ditjen Dukcapil yang mau memberikan data kependudukan.
Alvin menilai data kependudukan adalah informasi tentang warga negara Indonesia yang perlu dijaga pemerintah. Tidak boleh sembarang memberikannya kepada pihak lain. Apalagi bukan lembaga milik negara.
Alvin mengaku ingin tahu lebih dalam seperti apa bentuk kerja sama yang dijalin antara Ditjen Dukcapil dengan perusahaan swasta. Dia ingin tahu apa saja batas-batas yang harus dipatuhi oleh perusahaan yang bersangkutan.
Di samping itu, Alvin pun ingin mencari tahu bagaimana pemerintah, dalam hal ini Ditjen Dukcapil, mencegah data kependudukan disalah gunakan oleh pihak swasta. Menurutnya,
"Yang menjadi sorotan kami adalah sejauh mana pemerintah ini mempunyai rambu-rambu, tata cara memberi akses, cara pengawasan dan cara pengendalian peredaran data tersebut," ucap Alvin saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (22/7).
"Lalu bagaimana dengan perusahaan swasta yang kepemilikannya sudah ada unsur asing? Yang pasti kita akan meminta klarifikasi dari Ditjen Dukcapil, tentang bentuk perjanjiannya seperti apa, pengawasan seperti apa, sanksi seperti apa," ucap Alvin.
Menanggapi hal itu, Dirjen Dukcapil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh mengatakan bahwa pihaknya membangun kerja sama dengan pihak swasta bukan tanpa aturan. Perjanjian itu merujuk kepada UU No.24 tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).
Pada Pasal 58 Ayat (4) disebutkan bahwa setiap lembaga yang memberikan pelayanan publik dapat diberikan akses data kependudukan.
"Secara detil juga sudah juga diatur dalam Permendagri No. 61 tahun 2015," kata Zudan.
"Pemberian hak akses ini mampu mencegah kecurangan, kejahatan pemalsuan, dan dokumen. Juga meningkatkan kualitas pelayanan publik," ucap Zudan.
Ditjen Dukcapil, kata Zudan, tidak akan memberikan data kependudukan seluruh warga negara Indonesia yang berjumlah ratusan juta. Perusahaan swasta hanya diberikan akses data penduduk yang ingin menjadi konsumen saja.
UU No. 24 tahun 2013 juga sudah mengatur tentang sanksi pidana dan denda. Itu bisa diterapkan kepada pihak yang melanggar atau menyalahgunakan data kependudukan. Pemutusan kerja sama juga bisa dilakukan.
"Saya sudah mengundang Ombusdman hari Rabu (24/7)pukul 14.00 di Kantor Ditjen Dukcapil agar Ombusdman memahami tata kelola pemanfaatan data," ucap Zudan.
Zudan menjelaskan bahwa kerja sama pemanfaatan data kependudukan sudah dimulai sejak 2013 silam. Hingga kini, telah ada 1.227 lembaga yang bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri. Termasuk PT FIF dan PT AMF yang dikritisi Alvin Lie.
Terlebih, sejauh ini masyarakat juga senantiasa memberikan data dalam E-KTP ketika ingin mendapatkan pelayanan. Misalnya, saat membuka rekening bank, asuransi, menginap di hotel, membuat kartu kredit, dan seterusnya.
Masyarakat melakukan itu tanpa mengetahui apakah perusahaan yang bersangkutan sudah bekerja sama dengan Kemendagri atau belum.
"Kita juga enggak tahu, apakah lembaga-lembaga itu menggunakan data kita untuk perusahaannya sendiri atau juga di-share ke perusahaan anak, karena yang disimpan mereka itu data statis, maka banyak penipuan," ujar Zudan.
[Gambas:Video CNN] (bmw/gil)
from CNN Indonesia https://ift.tt/2JYchSz
via IFTTT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Data Penduduk untuk Swasta, Antara Privasi dan Modernisasi"
Post a Comment